Hari ini, dua puluh tiga tahun yang lalu. Momen reformasi terjadi. Mengakhiri era orde baru, masa pemerintahan Soeharto selama 32 tahun.
Mei 98, ibu kota dilanda kerusuhan. Dipicu dari penembakan empat mahasiswa Trisakti di depan kampusnya pada tanggal 12 Mei 1998. Hari-hari berikutnya menjadi salah satu sejarah terkelam bangsa ini.
Penjarahan terjadi di mana-mana. Toko milik orang Cina jadi sasaranya. Termasuk Mal Yogya di Kawasan Klender, Jakarta Timur. Kebakaran besar melanda, pada saat ratusan orang masih berada di dalamnya.
Baca juga: Mengenang Ita Martadinata, Korban dan Saksi Perkosaan Mei 98
Ibu Ruminah dan Baju Mengaji Gunawan
"[...] Ma, celana dan baju putihnya jangan dicuci ya, baru sekali dipake, masih wangi, [...]"
Tanggal 13 Mei 1998, sehari sebelum kejadian kebakaran Mal Yogya Klender, Gunawan Subyanto, anak ketiga Ruminah merengek diminta dibelikan pakaian dan peci untuk mengaji.
"Warnanya putih ya, ma, buat ngaji sama ustad Uung,"Â ujar Gunawan kepada Ruminah
"Ma, celana dan baju putihnya jangan dicuci ya, baru sekali dipake, masih wangi," ujar Gunawan setelah pulang mengaji. Ia tampak riang sambil ketawa loncat-loncat.
Tanggal 14 Mei 1998. Ruminah mendengar ada kerusuhan di sekitar Yogya Plaza dari Gunawan. Padahal salonnya berada di sana. Ruminah pun bergegas ke sana. Ia khwatir salonnya dijarah orang.
Gunawan memaksa ikut, katanya mau bantu beres-beres. Ia tidak peduli larangan Ruminah.
Benar saja, sesampainya di sana, salonnya sudah berantakan dan banyak barang hilang. Ruminah pun memutuskan untuk pulang. Sudah terlalu banyak orang dan situasi sudah semakin kacau. Namun, ia terjebak. Ditabrak orang dan jatuh pingsan.
Pada saat bangun, lampu sudah mati dan bau asap mulai tercium. Ruminah bergegas keluar mal, dan mencari anaknya, Gunawan yang baru saja lulus SD. Tidak ada di sana.
Ia hendak masuk kembali ke dalam mal, sudah tidak bisa. Tak lama kemudian, bunyi ledakan keras terdengar dari dalam gedung. Gunawan tidak pernah lagi pulang ke rumahnya sampai sekarang. Â
Maria Sanu dan Stevanus yang Tak Pernah Pulang
"[...] Jika Stevanus sudah masuk terbakar, mohon ampuni dosanya. [...]"
Tanggal 14 Mei 1998, Maria Sanu tak menyangka jika itu adalah perjumpaan terakhirnya dengan Stevanus Sanu, putranya yang baru berusia 16 tahun.
Saat itu waktu menunjukkan pukul 12 siang. Seisi rumah Maria Sanu sedang menonton televisi tentang kerusuhan yang sedang melanda Jakarta. Sementara, Stevanus masuk mencuci baju yang disuruh kakaknya.
Jam 2 siang, perasaan Maria tidak enak. Ia mencari anaknya yang baru masuk kelas 1 SMP. Ternyata setelah selesai mencuci baju, Stevanus sempat izin ke masjid untuk main bola.
Setelah itu, ia pergi ke Yogya Plaza untuk melihat tawuran. Sendirian, tidak bersama kawan-kawannya. Sampai sore Stevanus belum kembali. Padahal waktu itu mereka ada acara jalan doa Rosario.
Maria pun memutuskan untuk kembali ke rumahnya, sembari berharap Stevanus akan pulang dengan sendirinya. Nyatanya tidak.
Keesokan harinya Maria melapor ke Polsek Duren Sawit. Polisi lantas meminta Maria ke Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo. Tempat jenasah kebakaran mal Yogya berada.
Maria tak sanggup kesana. Ia tak mampu melihat deretan mayat yang sudah gosong dan bau. Kakak Stevanus yang diutus ke sana. Tapi, ia tidak bisa lagi mengenali mayat yang sudah hangus.
Stevanus belum kembali dan mungkin tidak pernah akan kembali. Maria hanya bisa berdoa. Kalau memang Stevanus takut pulang biarlah ia ditunjukkan jalan pulang. Jika ia sudah masuk terbakar, mohon ampuni dosanya.
Kusmiati dan Jasad Mustofa yang Hangus Terbakar
"[...] Di dalam ambulans, saya pangku jenasah anak saya yang sudah hangus terbakar. [...]"
Mustofa, siswa SMA baru berusia 18 tahun. Ia berpamitan pada ibunya untuk bermain catur. Tidak ada sedikit pun firasat dari Kusmiati. Padahal itu adalah pertemuan terakhirnya dengan anaknya.
Sore harinya ia mendengar kabar tentang kebakaran Yogya Plaza Klender. Kusmiati belum menyadarinya, hingga Mustofa tidak kembali ke rumah.
Setelah tiga hari setelah anaknya tak ditemukan, barulah Kusmiati menemukan jasadnya di Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo.
"Saya yakin itu anak saya. Kondisinya sudah hangus tak utuh, tapi saya mengenal baju dan celana dalamnya," tutur Kusmiati.
Mustofa diduga diajak kawannya turut menjarah di mal Yogya, tahunya ia terjebak dan mati terpanggang.
"Setelah itu baru jenazah boleh dibawa pulang. Saya pangku Mustofa selama di dalam ambulans,"Â kata Kusmiati.
Kusmiati cukup beruntung, Mustofa anaknya tak dikuburkan di kuburan massal TPU Pondok Rangon, Jakarta Timur. Ada 131 nisan tanpa nama berada di sana. Korban kerusuhan Mei 98 yang dimakamkan secara massal.
Namun, ia mengaku dapat merasakan debu-debu anaknya berada di sekitar situ. Kini ia telah pasrah, kendati masih mengharapkan keadilan dari pemerintah.
"Jangan sampai kejadian ini terulang kembali," kata Kusmiati.
**
"[...] Tolong mama, tolong ibu, pintunya... [...]"
Ruminah masih ingat kejadian ketika ia berupaya keluar dari Mal Yogya. Ia melihat banyak sekali orang berteriak, bakar-bakar...
"Jam 5 kita bakar, mereka teriak begitu. Mereka pakai celana pendek dan tidak pakai baju," kata Ruminah.
Ia juga sempat melihat orang-orang berteriak minta tolong. Menggedor-gedor pintu rolling door. Ia ingin membantu, tapi, tak kuasa. Pintu tersebut digembok dari luar.
"Tolong buka mama, tolong ibu pintunya."
Setelah lebih dari 20 tahun, Ruminah masih mengingat teriakan para korban yang menjerit.
"Kalau tidur, saya suka mimpi teriakan-teriakan itu. Kalau sudah begitu, ya, saya minum obat," pungkasnya.
**
Setidaknya 40 pusat perbelanjaan besar di daerah Jabodetabek dibakar. Data Tim Gabungan Pencari Fakta (TGPF) menunjukkan selama kerusuhan 13-19 Mei, 1.217 orang tewas, 31 hilang, dan lebih dari 2.470 pertokoan dijarah dan dibakar.
Mal Yogya Klender, hanyalah salah satu tragedi yang terjadi pada saat kerusuhan Mei 98.
Namun, terasa berbeda dengan apa yang sebenarnya terjadi. Bukan hanya 400 mayat yang terpanggang di dalamnya. Mereka adalah korban dari sebuah konspirasi yang tak pernah jelas hingga kini.
Beberapa saksi mata melihat adanya provokator yang menyuruh massa masuk menjarah. Ada juga yang dengan sigap melakukan aksi pembakaran dan mengunci pintu-pintu keluar.
**
Puluhan keluarga korban kebakaran Mal Yogya Klender menyerahkan barang-barang peninggalan sanak keluarganya yang menjadi korban. Kenang-kenangan tersebut berupa foto, pakaian, hingga akte kelahiran. Mereka ingin agar kejadian tersebut bisa terungkap di tangan TGPF.
Sayangnya tidak. 22 tahun telah berlalu, apa yang sebenarnya terjadi masih gelap dalam kesunyian. Siapa sebenarnya aktor intelektual, hingga sekarang berlum diadili.
"Anak saya dikorbankan, demi seseorang yang ingin berkuasa di negeri ini,"Â ungkapan isi surat dari Maryani, ibu dari salah satu korban kebakaran Mal Yogya Klender.
SalamAngka
Rudy Gunawan, B.A., CPS
Numerolog Pertama di Indonesia -- versi Rekor MURI
mal yogya klender, kerusuhan mei 98, tragedi mei 98, perkosaan mei 98, reformasi, kebakaran plaza yogya klender, tgpf, mei 98,
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H