Mohon tunggu...
Acek Rudy
Acek Rudy Mohon Tunggu... Konsultan - Palu Gada

Entrepreneur, Certified Public Speaker, Blogger, Author, Numerologist. Mua-muanya Dah.

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Herman Sudiro, Jenderal di Era Soeharto yang Bersinar Tidak Pada Tempatnya

28 April 2021   05:14 Diperbarui: 29 April 2021   11:59 3073
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Herman Sudiro, Jenderal di Era Soeharto yang Bersinar tidak pada tempatnya (nasional.kompas.com)

Banyak Jenderal yang bersinar di era Soeharto, tapi tidak banyak yang mengenal Brigjen Herman Sarens Sudiro. Karir militernya tidak banyak tersorot.

Bahkan bagi sebagian orang, Herman lebih dikenal sebagai promotor tinju, pemilik gelanggang pacuan kuda, pencinta motor gede, kolektor senapan, hingga bintang film.

**

Jiwa militernya diturunkan dari ayahnya, yang di masa revolusi gugur pada waktu Agresi Militer I. Sejak remaja, Herman sudah angkat senjata. Ia adalah anggota Korps Pelajar Siliwangi di Banjar.

Dalam sebuah penyergapan oleh tentara Belanda, Herman terpisah dari rombongannya. Ia pun bergabung dengan Markas Besar Komando Djawa (MBKD) di Cirebon.

Komandan MBKD, Kolonel Sukanda Bratamenggala mengangkatnya sebagai letnan. Pangkat yang cukup tinggi untuk korps pelajar.

Sukanda memberi tantangan kepada Herman untuk memimpin sebuah operasi militer skala kecil. Penyerangan ke basis tentara Belanda di Subang. Tanpa pikir panjang, Herman langsung menerimanya.

Operasi militer yang terbilang nekat, ternyata membuahkan hasil yang baik. Para serdadu Belanda yang sedang main bola, tergeletak tewas diberondong. Senjata-senjata mereka dijarah.

Setelah kemerdekaan, Herman diangkat menjadi komandan salah satu batalion Siliwangi dengan pangkat Mayor. Pasukannya turut menumpas gerombolan Darul Islam membantu Batalion pimpinan Mayor Himawan Sutanto.

Meskipun bukan sebagai ujung tombak, tapi pasukannya cukup berperan dalam pengamanan rakyat.

Gaya eksentrik Herman sudah terlihat kala itu. Setelah gerombolan ditumpas, ia menjejerkan mayat-mayat untuk diperlihatkan kepada rakyat. Tak lupa pula ia berdiri mengawasi dari atas panser.

**

Tahun 1965, situasi genting di ibu kota. Letnan Kolonel Herman Sarens bergetar di rumah D.I. Panjaitan. Darah berceceran di teras depan rumah, sementara sang Jenderal tidak ada di rumah. Istrinya tampak shok dan mengusir Herman.

Herman mengingat instruksi dari Jenderal Ahmad Yani, "kalau ada apa-apa segera cari Soeharto."

Bersama Wakil Asisten II, Menpangad, Brigjen Mustika, Herman bergegas ke markas Kostrad menemui Soeharto.

Namun, Mustika yang pangkatnya lebih tinggi dari Herman tidak ingin melapor ke Soeharto. Ia sudah tiga bulan tidak berbicara dengan Soeharto karena perselisihan.

Jadilah Herman yang tidak dikenal, menghadap Soeharto. Ia melaporkan kasus penculikan sejumlah Jenderal oleh pasukan liar bersyal merah (Cakrabirawa).

Soeharto yang geram tak banyak berbicara. Ia memerintahkan Herman membawa sepucuk surat darinya kepada Sarwo Eddhie Wibowo, Komandan RPKAD.

Instruksi Soeharto pada malam hari itu kepada Sarwo Edhie adalah cikal bakal penumpasan Gerakan 30 September, PKI.

Tak disangka peran Herman sebagai penghubung Soeharto dan Sarwo Edhie itulah yang berbuah mujur. Sejak saat itu karir Herman lancar menapaki jenjang yang lebih tinggi.

**

Herman adalah seorang perwira yang pintar melihat peluang. Di masa operasi militer berada di bawah Komando Operasi Tertinggi (KOTI) pimpinan Letjen TNI Ahmad Yani, Herman menjabat sebagai wakil kepala staf bidang logistik.

Konon ia memiliki hubungan yang sangat dekat dengan Ahmad Yani, dan sempat menjadi ajudan Jenderal revolusi tersebut.

Begitu pula di zaman Soeharto. Dengan mudah ia mengambil hati sang presiden. Herman bahkan pernah menjadi orang dekat Soeharto ketika menjabat sebagai Komandan Komando Satgas Supersumar.

Bintang Satu tersemat di pundaknya ketika ia menjabat sebagai Komandan Korps Markas Hankam pada tahun 1970.

Sungguh sayang langkah caturnya salah. Herman kemudian akrab dengan Jenderal Soemitro yang menjabat sebagai Pangkopkamtib di dekade 70-an. Soemitro terkenal vokal dan pamornya mulai menyaingi Soeharto.

Siapa pun tak bisa menyaingi Soeharto. Jenderal Soemitro dipensiunkan, Herman pun "didubeskan." Tidak main-main. Dikirim jauh-jauh ke Madagaskar, Afrika.

Setelah menyelesaikan masa tugasnya sebagai Duta Besar, Herman kembali ke Indonesia dan menekuni banyak pekerjaan, hingga akhirnya di akhir hidupnya ia harus berurusan dengan masalah hukum akibat sebidang tanah yang dihibahkan oleh Soeharto pada akhir tahun 1960an.

 **

Nantikan kisah selanjutnya di Kompasiana dalam artikel; Herman Sudiro, Jenderal yang Lebih Dikenal Sebagai Promotor Tinju dan Bintang Film.

Referensi: 1 2 3 

SalamAngka

Rudy Gunawan, B.A., CPS

Numerolog Pertama di Indonesia -- versi Rekor MURI

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun