"Saya masih ingat wajahnya. Bahkan jika ia muncul saat ini, saya akan mengambil pisau dan mengirisnya sedikit demi sedikit."
Wei Shao-lan namanya. Ia diperkosa dan dijadikan budak seks oleh tentara jepang. Kejadiannya terjadi pada tahun 1937. Salah satu sejarah terkelam warisan Perang Dunia II: Pemerkosaan Nanking.
Wei sudah tidak muda lagi. Lebih tepatnya, uzur. Namun, penderitaan atas pemerkosaannya di Nanking membuatnya ingin hidup lebih lama.
"Saya ingin terus hidup, hingga melihat mereka menerima hukuman yang setimpal," ujar Wei dikutip dari sumber (cnnindonesia).
Tahun 2010, ia pernah berangkat ke Jepang bersama putranya. Tapi, kasusnya dihentikan oleh pengadilan Jepang. Tentara yang memperkosa Wei menolak segala tuduhan.
Saat ini, Wei tinggal dengan anak semata wayangnya yang berusia 70 tahun. Gubuknya yang sederhana di desa Lipu, China, telah lama merasakan dendam kesumat Wei sejak 1937.
Kisah Wei Shao-lan
Putrinya yang berusia 1 tahun kerap diberikan permen, agar tidak menangis pada saat ibunya diperkosa.
Suatu saat, Wei berhasil melarikan diri. Ia kembali ke rumahnya. Namun, itu hanyalah awal dari neraka. Wei tidak lagi diterima oleh suaminya.
Situasi menjadi lebih buruk ketika ia hamil. Putranya, Luo Shan-xue yang kini tinggal bersamanya seringkali mendapat pelecehan di masa kecil. Dicemoh sebagai anak haram jepang di kampungnya.
Wei tidak sendiri. Sejarah mencatat ada 20 ribu wanita yang diperkosa, dibunuh, dan dijadikan wanita pemuas nafsu selama tragedi Pemerkosaan Nanking.
Itu belum termasuk 200 ribu wanita di seluruh China yang dijadikan budak seks selama pendudukan jepang di sana.
Sebelum Iris Chang mengungkapkan secara detail kekejaman tentara jepang dalam bukunya, The Rape of Nanking: The Forgotten Holocaust During The World War II, tidak banyak catatan sejarah yang membahasnya.
Baca juga: Kisah Tragis Iris Chang, Penulis Terkenal "The Rape of Nanking"
Selain karena pemerintah Jepang secara sistematis menyembunyikan hal ini, negara adidaya, Amerika Serikat juga terkesan mengacuhkan. Tersebab Jepang adalah sekutu yang setia dan strategis untuk NATO.
Budak Seks yang Dibungkam
Mantan budak seks memilih untuk diam. Usai perang mereka tak mau terbuka soal tragedi yang dialami.
Sebagian karena malu, sebagian lagi tidak mau dianggap sebagai konspirator Jepang. Para suami dan keluarganya juga memilih menutup mulut.
"Proses yang sangat menyakitkan, luka sejarah yang akan menjadi warisan,"Â pungkas Professor Su.
Diperkirakan masih ada saksi yang masih hidup. Namun, kebanyakan dari mereka telah berusia 80an tahun. Hidup di bawah garis kemiskinan dengan masa lalu yang menyiksa, membuat mereka lebih sulit digapai.
Semuanya Dimulai dari Perintah Pangeran
Tentara Jepang dibagi dalam 3 grup. Nakajima Kesago memimpin dari arah barat melewati Sungai Yangtze. Matsui Iwane dan seorang Jenderal yang juga anggota kerajaan, Pangeran Asayaka Yasuhiko, memimpin grup kedua dan ketiga.
Pangeran Asayaka adalah paman dari Kaisar Hirohito. Secara diplomatis, ia memiliki kekuasaan yang cukup tinggi untuk bala tentara Dai-Nippon.
Untuk mempercepat mengakhiri perlawanan, Jepang menawarkan perlakuan adil bagi pasukan yang menyerah. Tapi, hal tersebut menjadi masalah baru bagi Jepang setelah pasukan China menyerah.
Tidak ada makanan, tidak ada ruang penampungan tawanan perang yang besar, dan kekhwatiran pemberontakan lanjutan yang dapat membahayakan nyawa tentara kekaisaran.
Akhirnya, militer Jepang mendapatkan perintah langsung dari sang pangeran, yang berbunyi;
"Semua tawanan harus dieksekusi. Dilakukan dalam kelompok kecil. Dua belas orang sekali bunuh. Dilakukan secara terpisah."
Amaran yang Memicu Kebrutalan
Kebrutalan pun terjadi. Di hari kedua, penjarahan sudah terjadi. Para tentara jepang mengambil apa saja yang tersisa. Warga sipil merasakan neraka. Semuanya dibantai dengan keji. Tidak memandang usia.
Bagi para perwira, aksi pembunuhan dijadikan permainan. Sebuah majalah di Jepang menulis tentang kompetisi antara dua tentara. Toshiaki dan Tshuyoshi. Aturannya jelas. Siapa yang bisa membunuh 100 orang pertama dengan samurai adalah pemenangnya.
Setelah perang selesai Noda mengakui mengisahkan tentang kompetisi yang mereka lakukan. Para korban disuruh untuk berdiri berbaris. Kedua perwira tersebut lantas berlomba menebas mereka dari ujung ke ujung.
Di akhir wawancara, Noda bahkan mencemoh korbannya dengan mengatakan, "Tentara China itu sangat bodoh, membiarkan diri mereka terbunuh. Ini bukan masalah besar."
Dalam kenyataannya, korban yang dibunuh, bukan militer. Tapi, sipil.
Misionaris John Magee menceritakan bahwa milter jepang membunuh warga sipil dengan cara yang sama dengan berburu kelinci.
Para korban dianiaya dan dipenggal. Para tentara kemudian berfoto dengan mayat hasil "buruannya" sambil tersenyum.
Pemerkosaan Massal
Aksi tentara jepang semakin menjadi-jadi. Aksi perkosaan dianggap sebagai angin lalu. Mereka tak segan-segan mendatangi rumah ke rumah dan menyeret keluar wanita-wanita ke jalan.
Wanita tersebut diperkosa lalu dibunuh. Tidak peduli usianya. Mulai dari anak di bawah umur hingga nenek renta. Mayatnya dibiarkan tergeletak begitu saja di jalanan.
Seorang misionaris di Nanking, James M. McCallum menulis pada bukunya, "Saya memperkirakan setidaknya 1000 kasus pemerkosaan yang terjadi setiap malam. Itu belum termasuk di siang hari."
Namun, memperkosa dengan cara biasa rasanya kurang menghibur. Para tentara yang kesetanan melakukan pemerkosaan dengan cara terburuk.
Mereka memaksa para keluarga memperkosa keluarga mereka sendiri. Manusia layaknya binatang. Tidak ada nilainya sama sekali.
Selama tragedi Nanking berlangsung, tercatat 300 ribu warga sipil terbunuh dan 20 ribu wanita diperkosa hanya dalam hitungan pekan.
Terbentuknya Jugun Ianfu
Menghadapai kritik internasional, ide membangun tempat-tempat prostitusi di barak militer pun muncul. Dalihnya agar para serdadu bisa menyalurkan sifat liarnya dengan lebih terhormat.
Namun, di sisi lain, jepang berharap agar kekaisaran jepang tidak menjadi bulan-bulanan dunia internasional atas tindakan sadis para serdadunya selama penyerbuan ke kota Nanking.
Sejak tahun 1938, dibangunlah kamp perempuan yang bernama Ianjo di seluruh daerah ekspansi militer Jepang. Dari China hingga ke Asia Tenggara.
Dalam kenyataannya, tiada bedanya. Para wanita desa diculik dan dijadikan pelacur. Dipaksa melayani puluhan tentara setiap harinya. Diperkosa dan dibiarkan membusuk.
Ianjo adalah kamp perbudakan seks. Jugun Ianfu adalah budak seks. Bukan tempat pelacuran transaksional seperti yang digembar-gemborkan oleh militer jepang saat itu.
Tercatat lebih dari 200.000 korban jugun ianfu selama perang pasifik berlangsung. Itu belum termasuk yang kehilangan nyawa atau yang tidak diketahui lagi keberadaannya.
Wasana Kata
Sejarah adalah masa lalu. Walau demikian, dalam beberapa tahun terakhir, China telah berupaya membangkitkan memori ini. Atas nama nasioanalisme, semuanya harus dilakukan.
China tidak lagi ragu. Di dunia internasional. Kekuatan China telah meningkat.Â
Tanggal 3 September 2015, peringatan Hari Kemenangan melawan Jepang pertama kali diselenggarakan. Sejumlah rumah bordil tentara jepang dijadikan museum.
Sebagai bangsa yang beradab, kita seharusnya memahami fakta sejarah. Mengingat Tragedi Pemerkosaan Nanking bukan upaya untuk menyalahkan siapa-siapa. Pendidikan sejarah yang tepat harus diberikan kepada generasi penerus.
Agar manusia semakin beradab nantinya
SalamAngka
Rudy Gunawan, B.A., CPS
Numerolog Pertama di Indonesia -- versi Rekor MURI
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H