Tentara Jepang dibagi dalam 3 grup. Nakajima Kesago memimpin dari arah barat melewati Sungai Yangtze. Matsui Iwane dan seorang Jenderal yang juga anggota kerajaan, Pangeran Asayaka Yasuhiko, memimpin grup kedua dan ketiga.
Pangeran Asayaka adalah paman dari Kaisar Hirohito. Secara diplomatis, ia memiliki kekuasaan yang cukup tinggi untuk bala tentara Dai-Nippon.
Untuk mempercepat mengakhiri perlawanan, Jepang menawarkan perlakuan adil bagi pasukan yang menyerah. Tapi, hal tersebut menjadi masalah baru bagi Jepang setelah pasukan China menyerah.
Tidak ada makanan, tidak ada ruang penampungan tawanan perang yang besar, dan kekhwatiran pemberontakan lanjutan yang dapat membahayakan nyawa tentara kekaisaran.
Akhirnya, militer Jepang mendapatkan perintah langsung dari sang pangeran, yang berbunyi;
"Semua tawanan harus dieksekusi. Dilakukan dalam kelompok kecil. Dua belas orang sekali bunuh. Dilakukan secara terpisah."
Amaran yang Memicu Kebrutalan
Kebrutalan pun terjadi. Di hari kedua, penjarahan sudah terjadi. Para tentara jepang mengambil apa saja yang tersisa. Warga sipil merasakan neraka. Semuanya dibantai dengan keji. Tidak memandang usia.
Bagi para perwira, aksi pembunuhan dijadikan permainan. Sebuah majalah di Jepang menulis tentang kompetisi antara dua tentara. Toshiaki dan Tshuyoshi. Aturannya jelas. Siapa yang bisa membunuh 100 orang pertama dengan samurai adalah pemenangnya.
Setelah perang selesai Noda mengakui mengisahkan tentang kompetisi yang mereka lakukan. Para korban disuruh untuk berdiri berbaris. Kedua perwira tersebut lantas berlomba menebas mereka dari ujung ke ujung.
Di akhir wawancara, Noda bahkan mencemoh korbannya dengan mengatakan, "Tentara China itu sangat bodoh, membiarkan diri mereka terbunuh. Ini bukan masalah besar."