Pada artikel sebelumnya, saya membahas bahwa di Indonesia, penulis fiksi wanita lebih digandrungi daripada lelaki.
Baca juga: Popularitas Penulis Wanita di Kompasiana, Beda dengan Pasar di Indonesia?
Namun, kondisi ini berbanding terbalik dengan di dunia barat.
J.K Rowling membuat keputusan yang tepat ketika tidak memasukkan nama "Joanne" pada bukunya. Sebabnya adat di Amerika, penulis wanita kurang mendapatkan tempat.
"[...] Kalau yang nulis perempuan, dianggap tidak becus. Di sana citranya penulis pria lebih bagus, kalau perempuan kelihatannya seperti emak-emak,"ujar Hetih, editor fiksi di Gramedia Pustaka Utama.
Bahkan dalam novel detektifnya, Rowling sengaja mengubah nama penanya menjadi Robert Galbraith, yang terang-terangan nama lelaki.
Independent menulis sudah ada penulis perempuan yang karirnya mentok karena namanya. Salah satunya adalah Catherine Nichols. Hingga saat ini ia mengaku masih ada 17 permintaan manuskrip dari agen penerbitan. Namun, semuanya masih percaya kalau ia berjenis kelamin pria.
Kejadian menarik ketika Nichols mencoba mengirim manuskripnya ke pihak penerbit dengan nama samaran, George. Ternyata reaksinya lebih antusias dibanding nama aslinya.
Patrialisme mungkin kata yang lebih tepat. Penulis lelaki dianggap lebih kompeten oleh mayoritas pembaca di dunia barat. Bahkan oleh pembaca wanita sekali pun.
Mengulik pernyataan Hetih Rusli, Â patrilenial justru berbanding terbalik di Indonesia. Penulis wanita lebih mudah ditemukan dan lebih diminati.
Semuanya karena masalah penghasilan. Penulis terkenal seperti John Grisham, Dan Brown, dan Stephen King, sudah tidak perlu cari kerjaan lain lagi. Sementara di Indonesia, profesi penulis masih labil.
Beri Komentar
Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!