Menyambut tahun baru imlek atau hari besar lainnya. Pemandangan yang sama terjadi di depan kuil. Saya termasuk salah satu korbannya. Di sela-sela kunjunganku ke Singapura, saya selalu menyempatkan diri untuk berkunjung ke kuil terkenal di sana. Tepatnya di Bencoolen Street.
Saya termasuk yang paling cepat berdoa dibandingkan istri atau keluarga lain. Sambil menunggu, biasanya saya mencari kursi kosong di bawah pohon rindang.
Ibu-ibu tua datang menghampiriku dan menawarkan beberapa lembar kertas lottery. Tanpa pikir panjang, dengan harapan hoki akan datang setelah bersembahyang, aku biasanya menghabiskan 5 dollar Singapura untuk memilih angka-angka keberuntungan. Hasilnya? Nol besar.
Namun, pemandangan seperti ini wajar terlihat di beberapa kota besar di Asia. China, Taiwan, Malaysia, Singapura, atau Hong Kong. Semuanya seragam.
Bagaimana orang Tionghoa memandang keberuntungan?
Stevan Harrell, Professor Antropologi dari Universitas Washington menjelaskan bahwa hasrat orang Tionghoa terhadap hoki sudah berasal dari masa lalu.
Orang barat (atau bangsa lain) melihat keberuntungan adalah sesuatu yang acak. Namun tidak bagi orang Tionghoa. Mereka memandang Hoki adalah sesuatu yang tidak kebetulan.
"Tidak ada konsep bahwa sesuatu muncul secara acak. Ada keyakinan pada keteraturan, semacam alasan di balik segala sesuatu," kata Harrel.
Dilansir dari sumber (bbc.com), Liu Qiying seorang pendeta Tao di Taipei, mengatakan bahwa secara tradisional ada prinsip sederhana yang diyakini;
"Thian Zuding (Surga Menentukan)."
 Segala sesuatu bisa diitung. Astronomi China Kuno hingga ritual Tao meyakini bahwa hidup seseorang ditentukan oleh keinginan langit. Mulai dari kelahiran hingga tanggal kematian, semuanya telah tertulis dengan jelas.
Para kaisar zaman dulu sering menempatkan dirinya secara politik sebagai perwujudan dari Dewa. Mereka melegitimasi kekuasaan dengan meyakinkan konsep "Mandat dari Surga." Kekuatan tersebut untuk menjaga perdamaian rakyat, sekaligus menghukum para pembangkang.