Selasa 31 Maret, sekitar pukul 02.30
Ada gerakan di semak-semak. Letaknya tak jauh dari sebuah pesawat yang terparkir di lapangan udara Don Mueang, Bangkok. Mereka adalah sekelompok pasukan bersenjata yang bergerak mengendap dan teratur dalam formasi dua baris mendekati pesawat.
Pasukan tersebut tampak membawa tiga tangga. Dua diletakkan di masing-masing sayap, satunya lagi di bagian belakang pesawat.
Dalam sekejap mereka sudah ada di dalam pesawat. Masuk melalui pintu darurat dekat sayap dan bagian belakang di bawah badan pesawat.
"Semua penumpang tiarap." Teriakan memecah keheningan. Diikuti dengan riuh penumpang dan suara tembakan.
"Dor... Dor..." Hanya tiga detik. Beberapa tubuh jatuh terkapar.
Penumpang yang tiarap kemudian dikeluarkan satu persatu. Tapi, suasana tegang kembali memuncak ketika ada seseorang yang melempar granat. Untungnya berhasil dijinakkan oleh salah satu pasukan penyergap.
Orang yang melempar granat berusaha melarikan diri lewat pintu depan. Namun, dalam sekejap ia tewas ditembak. Seorang lagi melepaskan tembakan ke arah pasukan. Untungnya tidak mengenai sasaran.
Senjata pasukan ditodongkan padanya. Memaksanya menyerahkan diri.
"Dor..." sang pembajak menembak keningnya sendiri.
Masih ada dua lagi yang ikut tiarap beserta para penumpang. Dalam sebuah kesempatan mereka berupaya kabur. Tapi, dua tembakan tepat sasaran membuat mereka tersungkur di tanah.
Inilah puncak drama penyelamatan pembajakan pesawat Garuda Indonesia Airways DC-9 yang dikenal dengan nama "Pembajakan Woyla," tepat pada tanggal 31 Maret saat Mabes Polri diserang teroris, 40 tahun yang lalu.
Peristiwa tersebut adalah pembajakan pesawat komersil pertama di Indonesia dan juga yang terakhir. Mengangkat nama pasukan Sandi Yudha (Koppasandha) yang sekarang bernama Komando Pasukan Khusus (Kopassus).
**
Sabtu 28 Maret 1981, pukul 09.05 pagi
Suasana riuh seperti warteg. Tidak ada penjagaan apalagi pengamanan. Orang bebas keluar masuk tanpa pemeriksaan.
Tjipto Harsono, salah satu penumpang pesawat berada di ruang tunggu. Ia semeja dengan seorang penumpang di pesawat yang sama. Tjipto berbaik hati membelikan segelas kopi dan mengajak kawan barunya mengobrol.
Di meja lain tampak seorang penumpang bernama Anwar. Ia terlihat gelisah dengan suasana bandara Palembang yang riuh. Pengamanannya begitu longgar. Perasaannya semakin tidak enak setelah ia mengamati gerakan dua orang asing yang mencurigakan. Salah satunya menenteng tas berwara cokelat.
Maksud hati ingin menyampaikan kepada perugas di tangga pesawat, tapi urung karena pesawat sebentar lagi akan lepas landas.
Di atas pesawat, Anwar menceritakan kegelisahannya kepada Budianto yang duduk di sebelahnya. Budianto hanya mendengarkan dan tetap tenang.
Pesawat lepas landas dengan aman. Para penumpang duduk santai ketika pramugari mulai membagikan makanan.
"Jangan bergerak! Jangan bergerak atau saya tembak!"Â
Sebuah teriakan terdengar dari bagian belakang pesawat. Beberapa penumpang bangun dan berlari ke bagian depan kabin. Tjipto yang duduk di bangkunya masih belum sadar apa yang terjadi.
"Dok, ini bercanda apa, ya?" tanyanya kepada penumpang yang duduk di sampingnya.
Salah satu pembajak yang mendengarkannya datang menghampirinya dan menodongkan pistol ke arahnya. Saat itulah Tjipto sadar apa yang telah terjadi.
Sabtu 28 Maret 1981, sekitar pukul 10.10 pagi
Mereka adalah anggota Jamaah Imran dan mengaku sebagai Komando Jihad. Jumlahnya lima orang dan mempersenjatai diri dengan pistol dan granat.
Tuntutan mereka adalah melepaskan 80 orang tahanan yang terlibat dalam penyerangan Kosekta 8606 Pasir Kaliki di Bandung tanggal 11 Maret 1981 dibebaskan. Mereka juga meminta uang tebusan sebesar 1,5 juta dollar Amerika sebagai ganti dari 48 penumpang dan 5 orang awak pesawat yang disandera.
Sabtu 28 Maret 1981, sekitar pukul 11.20 pagi
Pesawat mendarat di Bandara Internasional Penang, Malaysia. Para pembajak meminta pengisian bahan bakar, tanpa memberitahukan tujuan penerbangan berikutnya. Seorang sandera berusia 76 tahun dibebaskan.
Departemen Pertahanan dan Keamanan Indonesia pun dihubungi. Dalam keadaan genting, Menteri Pertahanan dan Keamanan, Jenderal M.Jusuf menginstruksikan Wakil Panglima ABRI, Laksamana Soedomo untuk menangani situasi pembajakan.
Minggu 29 Maret 1981
Mereka menyita seluruh dompet dan barang berharga penumpang. Sekaligus mengecek identitas jika ada di antara mereka yang anggota militer.
Malang bagi seorang penumpang. Ia adalah anggota Resimen Mahasiswa. Para pembajak menyeret sang penumpang ke depan dan dipukuli. Mereka juga tak mengizinkan gerakan mencurigakan. Ada yang melongos sedikit saja langsung dipukuli. Tidak peduli perempuan atau lelaki.
Para penumpang juga tidak dikasih makan yang cukup. Sehari hanya sehelai roti tawar dan segelas air putih. Jika ingin ke toilet, harus atas izin pembajak. Pintu toilet tidak bisa ditutup. Para penumpang juga diminta untuk membersihkan toilet secara bergiliran.
Selama penerbangan, semua tangan penumpang harus berada di sandaran kursi dengan telapak tangan yang terlentang.
"Rasanya tangan mau patah dan keram, susah bernafas." Ujar salah seorang penumpang.
Untuk mengisi kekosongan, para pembajak memberikan ceramah kepada penumpang. Isinya tentang kekejaman rezim Soeharto yang memang terkenal sering menyudutkan kelompok Islam radikal.
"Sehari bisa dua hingga tiga kali diceramahin." Ujar Tjipto.
Selama ceramah berlangsung, penumpang tidak bisa berkata apa-apa. Tapi, tidak bisa juga mengabaikannya. Memalingkan muka sedikit saja, pukulan melayang.
"Yang paling pintar ceramah namanya Mahrizal. Ia adalah ketua dari kelompok pembajak. Di awal-awal ceramah selalu menempatkan diri paling suci. Tapi, lama kelamaan omongannya sudah tidak enak didengar lagi." Sambung Tjipto.
Di tengah penderitaan, beberapa sandera mencoba untuk melawan. Anwar termasuk salah satunya. Ia mempelajari gerak-gerik pembajak dan saling bertukar kode tangan dan mata dengan beberapa penumpang lain.
Namun, rencana itu tidak pernah dilakukan. Dua penumpang telah terburu nekat melarikan diri dari pesawat.
Dua penumpang itu bernama Robert Wainwright dan Carl Schnider. Wainwright kabur melalui pintu darurat pesawat pada minggu siang dan Scnhider pada sore harinya. Wainwright berhasil melarikan diri, tapi tidak bagi Schnider. Ia tertembak di bahu.
Sisa penumpang mengalami siksaan lebih keras. Diminta untuk mengencangkan sabuk pengaman, dilarang berbicara, dan tidak diberi makan.
Senin 30 Maret 1981, pagi hari.
"Begitu dengar permintaan-permintaan mereka dikabulkan pemerintah, pembajak itu menari-nari di dalam pesawat. Saat itulah kami bisa makan enak. Kami dikirimi nasi ayam. Karena tiga hari sudah tidak makan, makanan saat itu serasa makanan terenak di dunia," kenang Tjipto.
Senin 30 Maret 1981, sekitar pukul 21.00 malam
Suasana di sekitar pesawat masih kelihatan sepi. Terlihat sebuah mobil katering mendekat. Mengikuti kode lampu dari pesawat yang merupakan sinyal pembajak untuk mengangkut suplai makanan dan minuman.
Dari jauh kelihatan tiga orang pria yang tak memakai baju, membawa kantong-kantong plastik. Setelah itu tidak terjadi apa-apa lagi.
Selasa 31 Maret 1981, sekitar pukul 02.30 dini hari
Para pembajak relatif mudah dilumpuhkan karena kondisi fisik dan juga sudah lengah. Seluruh penumpang dan kru pesawat berhasil diselamatkan, meskipun Kapten Pilot Herman Rante dan Ahmad Kirang dari Kopassandha tewas saat penyergapan terjadi.Â
"Saat-saat terakhir di dalam pesawat itu perasaan saya sudah pasrah saja. Kalau mati ya biarlah, kalau bisa bebas ya alhamdulillah. Saya tenang-tenang saja sudah waktu itu," pungkas Tjipto.
Beginilah kisah drama penyanderaan selama 65 jam. Berakhir dengan baik dan waktu yang diperlukan untuk menyelesaikan penyerbuan hanya 3 menit.
Nama Kopassandha berkibar dan Indonesia Berjaya. Dunia mengakui pasukan khusus Indonesia ini sebagai salah satu dari yang terbaik di dunia. Satu-satunya dari negara dunia ketiga.
SalamAngka
Rudy Gunawan, B.A., CPS
Numerolog Pertama di Indonesia -- versi Rekor MURI
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H