Suatu waktu majalah tersebut menyajikan gambar gadis yang mengenakan kostum Lolicon di halaman depannya. Ternyata muncul banyak komplain terhadap gambar tersebut. Mereka mengatakan bahwa gambar gadis sebenarnya telah merusak rasa citra para karakter Lolicon.
Penulis sendiri berpikir bahwa kecintaan terhadap karakter Lolicon tidak hanya datang begitu saja. Sebagai lelaki normal, tentunya seks merupakan salah satu daya tarik utama.
Karakter Lolicon yang imut dan menggemaskan memiliki daya tarik seksual bagi para fansnya. Bahkan sebagian masyarakat menganggapnya sebagai pornografi terselubung.
Situs humantrafficking.org bahkan lebih keras lagi. Mereka menyatakan bahwa Jepang adalah pusat produksi dan distribusi gambar kekerasan seksual pada anak. Manga dan anime telah membantu menyuburkan hasrat para pedofilia untuk bercinta dengan wanita berseragam sekolah.
Namun, para kreator manga dan anime memprotes hal tersebut. Menurut mereka, takada unsur pornografi anak sama sekali dalam karya mereka. Mereka berargumen bahwa pornografi anak adalah adanya keterlibatan anak di bawah umur dalam proses produksi. Sementara karakter Lolicon hanya mewakili sifat kekanak-kanakan.
Mereka bahkan menuduh PBB ingin mengakomodir kepentingan Barat yang ingin menghentikan kesuksesan anime di seluruh dunia.
"Hasrat terhadap gambar dua dimensi tak hanya untuk gadis itu saja. Namun, juga untuk kualitas kegadisan yang disimbolkan lewat keimutan (Kawai)."
Nyatanya pornografi anak memang tumbuh subur di Jepang. Meskipun ada larangan umur minimal sebagai artis film porno, tidak jarang tema Kawai menjadi subjek dari para pembuat film porno.