Jarang diriku membuat tulisan yang didasari perasaan bersalah. Tapi, pagi ini idenya tiba-tiba terbersit. Semuanya terkait dengan blogwalking di Kompasiana. Tertuju spesifik kepada sebuah nama,"Roselina Tjiptadinata."
Salah satu aktivitas yang paling kugemari adalah membaca sapaan kawan-kawan atas tulisan yang baru saja terbit. Namun, entah kenapa aku selalu tertegun dengan sapaan Kompasianer yang kerap aku sapa dengan Bu Rose ini.
Siapa yang tidak mengenalnya. Di Kompasiana, beliau boleh dikatakan sebagai pendamping dedengkot. Alias bojo e dedengkot K, Tjiptadinata Effendi, yang selalu aku sapa dengan Pak Tjip.
Pak Tjip memang adalah contoh teladan bagi penulis pemula, penulis tua, hingga penulis tanggung macam diriku. Semua menaruh rasa hormat padanya. Buktinya ada. Buku 150 Kompasianer Menulis ditutup dengan target 159 penulis. Aku bahkan pernah menantang beliau;
"Jika waktu diperpanjang, aku yakin bisa mencapai 200." Setuju tidak?
Tapi sudahlah tentang Pak Tjip. Tulisan ini aku dedikasikan bagi istrinya, bukan beliau.
Bu Rose sering hadir dalam sapaan. Waktunya pun teratur. Setiap pagi pada saat aku selesai meneguk gelas kopi pertamaku.
"Terima kasih Pak Rudy telah berbagi artikel yang inspiratif tentang pernak-pernik..." Begini kira-kira khasnya.
Aku pun menjawab;
"Terima kasih Bu Rose, semoga sehat selalu ya."
Setiap pagi. Bayangkan setiap pagi. Tidak heran jika nama beliau selalu bertenger di ruangan Nilai Tertinggi Kompasiana. Bersamaan dengan beberapa nama lain seperti Ari Budiyanti, Fatmi Sunarya, Ali Musri Syam, Mochamad Syafei, Hennie Triana, dan Meni Mor.
Saya termasuk penulis yang malas blogwalking. Jujur energinya besar. Kepada Kners yang rajin blogwalking, saya angkat topi deh. Termasuk kepada yang sudah menyapa dan belum kukunjungi balik. Saya minta maaf.
**
Kembali kepada Bu Rose. Aku yang penasaran kemudian mengulik laman gugel. Kata kunci "Roselina Tjiptadinata" pun aku tekan. Semuanya tentang profil dan tulisannya di Kompasiana. Tidak satu pun jualan, seperti pada "jual Tjiptadinata Effendi murah."
Jelas kalah pamor dengan sang suami. Jumlah tulisannya juga baru ratusan. Belum sampai ribuan macam suaminya. Tapi, tetap saja dengan sabar beliau menulis.
Kadang saya berpikir, jangan-jangan Bu Rose melakukan itu akibat paksaan dari Pak Tjip. Sambil membayangkan Pak Tjip berkacak pinggang dengan wajah cemberut hampir bikin pingsan. Siapa tahu saja, memang benar demikian.
Namun, tidak mungkin. Semua tulisan Bu Rose kelihatan dari hati. Tulisannya dibuat berseri-seri. Hampir menyaingi drakor berseri.
Yang paling aku kagumi adalah sebuah tulisan yang dibuat oleh beliau. Sayangnya setelah aku cari kembali, tidak kutemukan jejaknya. Intinya, beliau membeberkan rahasia rajin blogwalking.
Caranya adalah dengan membuat semacam catatan. Semua sapaan yang masuk dibuat dalam bentuk To-Do-List dan dicentengi satu persatu jika sudah dikunjungi kembali.
Satu kata, Luar Biasa.
Semua dilakukan, meskipun ia tidak menerima banyak tulisan yang dikhususkan padanya. Coba Anda mencari nama Roselina Tjiptadinata dengan menekan tombol "artikel"Â di laman Kompasiana. Yang muncul adalah nama berdua. Beliau dan Pak Tjip.
Tulisan terbaru yang dikhususkan pada dirinya sendiri adalah karya Kompasianer Bambang Setiawan. Judulnya, "Ibu Ribuan Kompasianer itu bernama Roselina Tjiptadinata" (sila klik di sini). Itu yang terbaru, tepatnya hampir lima tahun yang lalu.
Artikel berikutnya yang juga menarik perhatianku adalah karya Kompasianer sahabatku, Endro S Efendi. Judulnya; "Roselina Tjiptadinata? Maaf Saya Tidak Kenal" (sila ulik di sini). Tahunnya pun sama. Hampir lima tahun lalu.
**
Pak Tjip bisa saja senyum-senyum penuh kemenangan. Tapi, jika aku berada di sana akan kusuruh Bu Rose menjewer kupingnya.
"Di belakang lelaki sukses ada seorang wanita hebat. Ingat itu, coy!"
Tentu Pak Tjip bukan orang seperti itu. Jangan terpengaruh dengan tulisan provokatif dari diriku.
Sejujurnya aku cemburu. Bukan ingin mengeluh tentang istri tersayang, tapi aku cemburu karena mereka berdua adalah pasangan jagoan yang sangat kompak.
Tidak aku ulik lagi mengenai sepak terjang Bu Rose di Kompasiana. Semua orang pasti mengenalnya. Tulisan akan serasa basi jika kubuat lagi.
Namun, satu hal yang pasti. Setiap komunitas pasti memerlukan tokoh atau figur pengayom. Bu Rose adalah jawabannya. Saya punya beberapa alasan untuk mendukung teoriku ini;
Pertama, di usianya yang sudah berkepala tujuh, beliau masih aktif. Cocok bagi penulis yang merasa tidak produktif.
Kedua, meski jarang mendapatkan AU, beliau tidak pernah mengeluh. Apalagi menghapus tulisan. Cocok sebagai bagi penulis yang sering misuh-misuh.
Ketiga, rajin blogwalking. Menyapa para sahabat Kompasianer dengan sepenuh hati. Cocok bagi penulis yang sering sepi sendiri.
Keempat, tulisannya yang ringan dan sarat manfaat. Ditulis dengan tata bahasa dan cara meramu kata yang sederhana. Cocok bagi penulis yang sering tidak pede.
Tapi, di antara semua itu. Satu hal yang mengagumiku. Tulisan dari Bu Rose (dan juga Pak Tjip) selalu penuh dengan rasa cinta. Tidak sekali pun beropini mengenai suku, agama, atau ras.
Jauh juga dari kesan provokatif yang bisa saja dimaksudkan untuk mendulang pembaca atau alasan popularitas lainnya.
**
Terkait sistem karantina artikel Kompasiana yang sedang hangat-hangatnya saat ini. Saya tidak bermaksud mengomentari hal yang sudah banyak dikomentari ini.
Namun, seperti biasanya. Saya selalu menawarkan jimat.
Jika ingin agar tulisan Anda tidak masuk sistem skrining otomatis Kompasiana, maka gunakanlah kata kunci "Roselina Tjiptadinata" dan "Tjiptadinata Effendi." Siapa tahu itu adalah kata kunci untuk membebaskan artikel dari sistem lockdown terbaru di K.
"Omong apa pula aku ini."
Semoga sehat dan bahagia selalu, Bu Rose dan Pak Tjip. Damai besertamu selalu! Maafkanlah diriku yang malas menyapamu.
SalamAngka
Rudy Gunawan, B.A., CPS
Numerolog Pertama di Indonesia -- versi Rekor MURI
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H