Hari kedua. Aku yakin latihanku yang kemarin sudah cukup mantap. Ruh Thio Sam Hong serasa sudah merasukiku. Kemarin aku bermimpi tentangnya. Hari ini aku lanjut latihan.
Menurut bab "Menggantung gaya kera," aku harus bisa menggelantungkan diri agar kaki terbiasa melayang. Caranya mudah. Praktek kali ini memerlukan alat. Jadilah tali jemuran menemaniku. Berhasil! Aku menggelantung.
Sayangnya, tidak sampai semenit latihanku sudah selesai. Tali gantungan ambruk beserta daleman dan kawan-kawannya. Jeweran bunda tersayang kembali bersarang di telinga.
Hari ketiga. Latihan singkat di hari sebelumnya tidak menghalangiku. Bukankah makna dari ilmu silat adalah usaha. Jangankan sehari, sejam pun ilmu sakti sudah bisa dikuasai. Itu yang aku pelajari dari film silat To Liong To.
Judulnya "Ilmu meringankan gaya Tarzan." Tidak perlu dijelaskan. Kakak sering memanggilku Tarzan. Sebabnya hanya daleman saja yang kugunakan seliweran dalam rumah. Tidak usah dibaca terlalu jauh. Kunci dari ilmu ini cukup dilengkapi dengan teriakan, "Auuuu.... Auuuuuuu."
Tidak pake lama sebelum Bunda kembali datang. Jeweran lebih lama meriang di telinga.
Hari keempat. Belum juga kapok. Bunda memata-mataiku. Dia melarang diriku berada dua meter dari pintu rumah. Aku tidak kehabisan akal. Bab berikutnya yang harus kukuasai tidak perlu di luar rumah.
Judulnya "Kelebatan bayangan kilat." Tidak perlu tali jemuran ataupun buku yang sudah disita. Aku bisa melakukannya dalam kamar. Caranya adalah berlari dan melemparkan tubuh ke tempat tidur tanpa menimbulkan suara. Toh, tujuannya memang supaya Bunda tidak mendengarkan.
Wisssss... Hoopppp... Berhasil. Ciaatttt... Wisssss... Berhasil.
Lima kali kulakukan penuh konsentrasi. Aku merasakan kemajuanku yang pesat. Aku berbakat sebagai pendekar Bu Tong Pai. Mungkin karena reinkarnasiku sebagai pendekar tanpa bayangan.
Bunda berdiri di samping tanpa aku sadari. Ternyata dia adalah pendekar tanpa bayangan yang lebih lihai. Aku menjewer telingaku sendiri sebagai bentuk penghormatan.