Karena yang muncul adalah seragam lama, maka aku secara reflek mengeluarkan tiga ribu perak seperti tarif yang selama ini berlaku. Aku pun iseng bertanya.
"Bukannya lima ribu? Mana mi anak muda ka?"
Si tukang parkir konvensional kemudian berkata,
"kalau kita mau lima ribu, kupanggilkan ki dulu orangnya (kalau mau bayar lima ribu, saya panggilkan dulu orangnya)"
"Sudah, tiga ribu saja," ujarku.
Untuk apa bayar lebih hanya untuk melihat alat terbaru keluaran PD Parkir ini.
Nah, bukankah ini adalah hal yang janggal? Di saat peraturan telah dibuat, selalu ada saja harapan yang membuat aturan bisa ditawar. Tapi, satu hal yang lebih menggelitik, apakah pekerjaan tukang parkir ini akan hilang ditelan bumi suatu saat nantinya?
Entah apakah pekerjaan tukang parkir adalah warisan kolonial atau produk anak bangsa. Tapi, catatan yang aku dapatkan, setidaknya sejak kemerdekaan hingga 1950an di Jakarta sudah ada pihak yang merasa bertanggung jawab.
Kendaraan bermotor saat itu belum terlalu banyak. Wilayah parkir berlum terlalu luas. Pekerjaan "Jaga Otto," yang dimaksud pun masih jarang. Hanya seputaran pusat kegiatan kota.
Pihak yang merasa bertanggung jawab pada umumnya adalah orang yang disegani di wilayah tersebut. Pendapatan mereka tidak diatur oleh undang-undang perpakiran seperti saat ini.