"Kalau setiap hari rata-rata pemasukan tidak sampai Rp.26.600,- dibilanglah orang miskin."
Daeng Rewa kembali tertegun. Ia mengeluarkan kalkulator yang biasa digunakan untuk menghitung komisi dari hasil jualan motor bekas. Ia mendapatkan angka Rp.798.000,- per bulan (30 hari kerja).
Jumlah itu setara dengan komisi 2 hingga 3 motor per bulan. Di zaman sebelum Covid, jelas enteng. Daeng Rewa bisa menjual hingga minimal 10 unit per bulan. Ini belum termasuk satu atau dua transaksi besar penjualan mobil atau rumah.
Namun, pada saat pandemi merebak, Daeng Rewa sudah sangat jarang keluar rumah. Kadang pendapatannya tidak sampai segitu.
Begitu pula dengan dagangan baju Siti Khadijah, istrinya. Dalam keadaan normal, ia bisa dapat mendapat keuntungan satu hingga dua juta rupiah per bulan. Di masa pandemi ini jelas berkurang.
Menurut Adam, penetapan ini digunakan oleh Bank Dunia sebagai representasi garis kemiskinan di negara paling miskin di dunia. Namun, agar datanya memiliki dasar perhitungan yang sama, maka nilai agregat pun digunakan. Alias standar kemiskinan adalah sama untuk setiap negara.
Daeng Rewa kembali bingung, apakah dirinya sudah termasuk miskin di masa pandemi? Masih belum puas, ia pun bertanya lagi kepada Adam.
"Kalau tidak sampai, bagaimana mi? Kan ini masa pandemi, kurang mi yang mau beli motor sekarang."
"Itu mi yah, dimana-mana situasi kayak begitu."
"Untungnya kan ada ji program pemerintah untuk UMKM, bisa tong ki kita ambil untuk jadikan modal dagangannya Mamak."Â Adam menjawab pertanyaan mertuanya.
"Coba mi nanti kutanya ki mamakna Halifah."Â Daeng Rewa menjawab setengah hati. Sedari dulu hingga kini, ia tidak pernah melirik bantuan sebagai sumber penghidupannya.