Mohon tunggu...
Acek Rudy
Acek Rudy Mohon Tunggu... Konsultan - Palu Gada

Entrepreneur, Certified Public Speaker, Blogger, Author, Numerologist. Mua-muanya Dah.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Kamikaze, Aksi Patriotik atau Tindakan Teroris?

16 Februari 2021   05:26 Diperbarui: 16 Februari 2021   07:07 2976
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi Kaisar Hirohito menunggang kuda putih (sumber: tribunnews.com)

Perang Dunia II di Samudra Pasifik melibatkan perseteruan dua tentara besar. Pasukan Sekutu dan tentara kekaisaran Jepang. Amerika dan sekutunya muncul sebagai pemenang, tapi harus diakui bahwa Jepang telah menorehkan banyak kisah legenda selama peperangan.

Salah satunya yang paling mengerikan adalah Kamikaze. Merujuk pada aksi bunuh diri dengan menabrakkan pesawat ke sasaran penting musuh.

Dalam kurun waktu 25 Oktober 1944 hingga berakhirnya perang 15 Agustus 1945, tercatat 2.550 penerbangan Kamikaze dan 363 serangan yang menemui sasaran.

Kamikaze adalah momok terbesar bagi tentara sekutu. Serangan pertama dilancarkan tanggal 25 Oktober 1944 pada pertempuran Teluk Leyte (Battle of Leyte Gulf) dekat Filipina.

Saat itu Jepang berhasil menewaskan sekitar 7.000 pasukan sekutu dan kerusakan pada banyak kapal Amerika. Total pesawat yang dikerahkan Jepang adalah sekitar 300 unit yang memakan korban sekitar 3.000 nyawa militer.

Ilustrasi pilot kamikaze (sumber: idntimes.com)
Ilustrasi pilot kamikaze (sumber: idntimes.com)
Banyak yang mengira bahwa para pelaku Kamikaze adalah pilot yang telah dicuci otaknya. Tapi, kenyataannya tidak seperti itu. Mereka adalah tentara biasa yang bertempur di antara kesetiaan dan ketakutan.

Takehiko Ena, seorang pilot Kamikaze yang masih hidup menceritakan momen pertama saat ia menerima perintah.

"Kami melakukannya untuk negara kami. Kami meyakinkan diri bahwa kami telah terpilih untuk berkorban. Saya hanya ingin melindungi ayah dan ibu. Namun, saya juga merasa takut."

Pemerintah Jepang bahkan menyadari hal ini. Proses perekrutan yang dilakukan pun tak seheboh seperti apa yang dibayangkan. Pada 1943, Jepang memberlakukan sistem perkrutan kadet ke seluruh perguruan tinggi. Saat itu, Jepang menghadapi dua masalah besar dalam peperangan.

Yang pertama adalah cadangan tentara yang semakin menipis dan kedua adalah posisi Jepang yang kian terdesak oleh Sekutu. Materi yang dibawakan adalah propaganda nasionalisme dan wujud kesetiaan pada sang kaisar.

Walaupun tidak ada sistem wajib militer, program ini cukup sukses yang berhasil mengumpulkan 15.149 kadet baru yang rata-rata masih di bawah usia 25 tahun. Di antara para rekruitmen, terdapat sejumlah pemuda yang ditempatkan di Angkata Udara sebagai pilot Kamikaze.

Hisao Horiyama, mantan pilot Jepang yang masih hidup membeberkan bahwa tidak ada paksaan dalam proses perekrutan. Ia bergabung bersama kawan-kawan lainnya yang ditempatkan sebagai unit Kamikaze.

Setelah menjalani pelatihan, ia pun siap menjadi pilot. Namun, sebelum menandatangani kontrak kerja, ia disodorkan selembar kertas putih dengan tiga pilihan; 1) menjadi sukarelawan karena keinginan kuat, 2) hanya secara sukarela, atau 3) menolak.

Tidak membutuhkan waktu lama bagi Horiyama untuk menandai pilihan pertama. Baginya, melakukan Kamikaze adalah bentuk pengorbanan dan kesetiaan kepada sang kaisar.

"Kami tidak terlalu memikirkan tentang kematian. Kami dilatih untuk menekan emosi. Bahkan jika kami mati, kita tahu itu untuk tujuan yang layak," ungkap Horiyama.

Meskipun "misi mulia" ini belum sempat ia tuntaskan, karena Jepang telah terlebih dahulu menyerah kepada sekutu, hingga kini ia masih menyimpan rasa sesal.

"Saya merasa tidak enak karena saya tidak bisa mengorbankan diri untuk negara saya. Kawan-kawan saya yang telah meninggal akan diingat dalam kemuliaan tak terbatas. Tapi, saya telah melewatkan kesempatan saya untuk mati dengan cara yang sama. Saya merasa telah mengecewakan semua orang," ucap Hisao Horiyama,

Hisao Horiyama (sumber: tribunnews.com)
Hisao Horiyama (sumber: tribunnews.com)
Arti Kamikaze tidak seseram apa yang didengungkan. Ia berarti "Angin Dewa," merujuk pada angin yang menyelamatkan armada Jepang dari pasukan Monggol pimpinan Kubilai Khan.  

"Angin Dewa" ini menyelamatkan pasukan Jepang tidak hanya sekali, tapi hingga dua kali. Saking kuatnya legenda ini bagi masyarakat Jepang, pimpinan militer pun mengadopsilnya sebagai nama pasukan pilot berani mati ini.

Adalah Laksamana Tajikiri Onisihi yang melempar ide liar; "membentuk pasukan bunuh diri." Hal tersebut ia lakukan setelah berbagai diplomasi dengan pihak Sekutu gagal.

Walaupun demikian, penerbangan Kamikaze tidak sepenuhnya berasal dari otak Onishi. Serangan Kamikaze pertama bahkan tidak pernah direncanakan sebelumnya.

Ketika Angkatan Udara kekaisaran Jepang melancarkan serangan ke Pearl Harbor pada 7 Desember 1941, salah satu pesawat yang dikendarai pilot Letnan Fusata Liada terkena tembakan.

Sadar bahwa ia tidak lagi memiliki banyak kesempatan, ia pun mengarahkan pesawatnya menyasar pangkalan Udara AS, Hangar 101. Serangannya berhasil meluluhlantakkan pangkalan udara tersebut. Aksi Liada pun dianggap sebagai serangan Kamikaze pertama tentara Jepang. 

Tajikiri Onisihi (sumber: indozone.id)
Tajikiri Onisihi (sumber: indozone.id)
Proses Kamikaze juga tidak berjalan semulus apa yang diduga. Banyak kritik dan penolakan yang terjadi di negara Jepang. Komandan Letnan Goro Nanaka musalnya. Ia menganggap kesuksesan misi ini sangat kecil dan hanya memboroskan aset. Kendati demikian, program ini tetap dijalankan dan Pertempuran Teluk Leyte (1944) menjadi saksi pertama aksi para pilot bunuh diri.

Sadar bahwa program ini menuai banyak kontroversi, Kaisar Hirohito tidak tinggal diam. Masih dari kesaksian Horiyama, ia mengingat saat Kaisar Hirohito mengunjungi unit pasukannya.

"Saya pikir kedatangan kaisar dengan kuda putihnya, merupakan tanda bahwa ia secara pribadi meminta kami untuk melayaninya dengan mematuhi perintah yang akan diberikan olehnya. Aku tahu bahwa aku tidak punya pilihan selain rela mati untuk dia," ucap Horiyama.

Kunjungan Kaisar Hirohito kepada unit pasukan ini dianggap sebagai dukungan moral dari tongkat komando tertinggi di Jepang. Kejadian ini tentu membawa perasaan bangga bagi keluarga yang akan ditinggalkan.

Namun, bukan namanya perang jika tidak kejam. Beredar sebuah rumor bahwa para pilot Kamikaze juga telah menjalankan sebuah program yang sangat keras di bawah ancaman yang sangat sadis.

Selain dilatih dengan kemampuan tempur yang mumpuni, mereka juga digembleng secara mental. Atau dengan kata lain, digembleng dengan ancaman.

Selama pelatihan, mereka sudah tidak bisa lagi bertemu dengan keluarga. Tidak ada jalan mundur, mereka harus rela mati tanpa terkecuali. Bagi yang membangkang, seluruh keluarga mereka akan dipenggal oleh tentara kekaisaran Jepang sebagai hukuman.

Ilustrasi Kaisar Hirohito menunggang kuda putih (sumber: tribunnews.com)
Ilustrasi Kaisar Hirohito menunggang kuda putih (sumber: tribunnews.com)
Puncak kejayaan pertempuran Kamikaze berada pada pertempuran Okinawa 6 April 1945. Kala itu pasukan Kamikaze menyerbu Amerika dari segala penjuru secara intens.

Bom dihujamkan. Pesawat dibenturkan. Serangan bertubi-tubi datang dari berbagai penjuru tanpa ampun kepada pasukan Amerika. Kekuatan Amerika turun drastis. 9 kapal tenggelam, 78 lainnya rusak. Serangan ini mampu menjatuhkan mental pasukan Amerika Serikat.

Hingga akhirnya pada 15 Agustus 1945, Kaisar Hirohito mengumumkan akhir perang. Jepang menyerah kepada sekutu ketika Hiroshima dan Nagasaki dihancurkan oleh bom atom dari Amerika Serikat.

Kalahnya Jepang membuat aksi pasukan Kamikaze sisa kenangan. Sejarah menandakan kekuatan pasukan Jepang yang tidak akan pernah terlupakan sepanjang masa.

Penggagas Kamikaze, Takijiro Onishi bahkan berpendapat; "Saya tidak kalah dalam peperangan ini, melainkan Kaisar [Hirohito]"

Ilustrasi pilot jepang di perang dunia II (sumber: theguardian.com)
Ilustrasi pilot jepang di perang dunia II (sumber: theguardian.com)
Sempat terjadi perdebatan di publik. Japan Today pada bulan Mei 2015 sempat mengeluarkan jajak pendapat tentang aksi Kamikaze. Mereka melempar pertanyaan;

"Apakah aksi Kamikaze pada zaman dulu sebanding dengan aksi bom bunuh diri zaman sekarang?"

Dua kubu terbelah. Ada yang pro dan ada yang kontra.

Yang kontra mengatakan bahwa aksi Kamikaze tiada bedanya dengan aksi terorisme. Melakukan tindakan di luar nalar, membunuh diri, hingga menjatuhkan banyak korban.

Namun, yang pro mengatakan bahwa situasi perang di zaman tersebut menuntut adanya upaya mendapat kehormatan dengan membela bangsa.

Menurut Yuki Tanaka dari Hiroshima Peace Institut serta pengarang Hidden Horrors: Japanese War Crimes in World War II (1996), ada perbedaan dasar dari Kamikaze dan aksi terorisme.

Menurutnya penyerangan Kamikaze atas perintah dan persetujuan dari rezim militer sebuah negara. Sementara aksi teroris dilakukan atas perintah dari organisasi yang tidak diakui oleh negara.

Selain itu, aksi terror juga menyasar penduduk sipil tak berdosa. Kamikaze menyasar pasukan, armada, dan instalasi militer dari negara lawan dalam sebuah peperangan resmi.

**

Setiap orang bisa punya pendapat masing-masing. Tidak ada yang bisa dibenarkan atau disalahkan. Tapi, satu pelajaran penting dari kisah ini adalah, peperangan tidak akan pernah bisa membawa solusi. Jutaan nyawa akan terbuang demi sebuah alasan semu, yaitu harga diri.

Referensi: 1 2 3

SalamAngka
Rudy Gunawan, B.A., CPS
Numerolog Pertama di Indonesia -- versi Rekor MURI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun