Kisah itu dengan cepat menyebar ke seantero desa. Keharusan membungkus koin dengan kertas merah untuk melindungi anak-anak pun dimulai. Namun, seiring waktu berjalan, roh jahat tidak pernah muncul lagi. Tapi, tradisi ini terus berlanjut dan berganti makna.
Beberapa aturan yang penulis catat adalah;
Pertama, jumlah uang tidak boleh bernilai ganjil, sebab ganjil identik dengan unsur "Yin" dalam Filsafat "Yin-yang" yang mewakili unsur alam baka atau orang yang sudah meninggal.
Kedua, jumlahnya atau lembaran uangnya tidak bisa berjumlah empat, karena sehubungan dengan lafal fonetik bahasa mandarin yang berarti "she," atau "shi" yang secara harafiah mirip dengan kata "mati."
Ketiga, angpao tidak bisa diberikan dalam suasana hati yang susah. Karena sebuah keberuntungan harusnya diberikan dengan kebahagiaan. Jangan pernah sesekali menggerutu atau memarahi sambil memberikan angpao.
Sebenanrnya jika diurut, masih banyak lagi aturan-aturan lain yang akhirnya membuat proses pemberian angpao itu menjadi semacam ritual kecil. Tapi, yang terpenting bagi penulis memberi dan menerima angapo adalah proses berbagi kebahagiaan.
Menurut Azmi, angpao yang diartikan sebagai doa dan harapan pemberi kepada penerimanya, sangat kental dengan tradisi imlek. Hal yang wajib dilakukan oleh orangtua kepada anak-anaknya.
"Enggak sah kalau enggak berbarengan dengan pemberian angpao. Biasanya dari orangtua ke anak, atau untuk mereka yang jomlo, biar sejahtera dan cepat dapat jodoh, biar sehat dan segala macam," pungkas Azmi.
Azmi juga mengatakan bahwa tradisi angpao tidak jauh berbeda dengan tradisi Hari Raya Idul Fitri. Selain itu, angpao juga dapat diberikan saat momen ulangtahun atau acara pernikahan. Lebih jauh lagi, ada juga yang memberikannya sebagai bonus kepada karyawan, atau apresiasi kepada sahabat yang telah berjasa.