Penulis tidak mengatakan bahwa tradisi Fangsheng adalah hal yang tidak berguna. Namun, kita bisa melakukannya dengan lebih bijak. Cara yang penulis lakukan biasanya mengandung 2 syarat, yaitu:
Pertama, Membeli Tanpa Memesan
Seminggu sekali sebelum ke kantor, penulis menyempatkan diri untuk singgah ke pasar burung. Dengan anggaran seratus ribu rupiah, penulis kemudian memilih jenis burung yang ingin dilepas.
Burung manyar yang murah biasanya bisa didapat lebih banyak, dibandingkan dengan burung gelatik yang relatif lebih mahal. Penulis sudah memiliki langganan pasti yang bisa memberikan harga lebih murah.
Kadang jika sudah cukup sering berbelanja, penulis akan meminta bonus 1 atau 2 ekor burung, agar uang yang dianggarkan dapat membeli lebih banyak burung untuk dilepaskan.
Penulis tidak pernah memesan burung. Untuk itu tidak ada jenis burung tertentu yang menjadi pilihan. Hal ini dilakukan agar penjual burung tidak perlu menyediakan stok khusus bagi penulis.
Kedua, Mencari Tempat Pelepasan Satwa yang Tidak Membahayakan
Perlu diingat bahwa tempat pelepasan burung juga harus memenuhi syarat agar aman untuk orang lain, aman bagi satwa yang dilepaskan, dan aman bagi lingkungan.
Penulis sendiri tidak memilih tempat khusus untuk melepas burung. Kadang di rumah, kadang di kantor, kadang juga di pinggir jalan di bawah pohon yang rindang. Hal ini karena jumlah burung yang dibeli oleh penulis, tidaklah banyak.
Namun, dalam wisata religi yang melibatkan pelepasan satwa yang berjumlah banyak, maka pemilihan tempat harus dilakukan dengan hati-hati. Suatu saat, ada sebuah danau kecil di pinggir kota Makassar yang selalu menjadi tujuan wisata religi.
Saking terkenalnya, sehingga hampir seluruh kelenteng dan vihara memilih tempat tersebut sebagai tempat untuk melepas ikan. Akibatnya, ekosistem terganggu dengan banyaknya penghuni baru.
Penduduk sekitar yang telah mengetahui kebiasaan ini, lantas beralih profesi menjadi penangkap ikan. Di saat ritual fangsheng diadakan, mereka akan bersiap dengan jaring dan jalanya.