Sekilas tidak ada yang terlihat aneh di gedung Perkumpulan Sosial Boen Hiang Tong (Rasa Dharma) yang terletak di Gang Pinggir, Kawasan Pecinan Semarang.
Di dalam gedung yang juga menjadi Rumah Abu tersebut, terdapat banyak Sinci (papan arwah). Sinci adalah bentuk penghormatan kepada para leluhur oleh warga keturunan Tionghoa.
Namun, jika diperhatikan baik-baik, ada yang berbeda. Sebuah papan Sinci dengan nama K.H. Abdurrahman Wahid, Presiden RI ke-4 berada di sana. Bentuknya berbeda dan letaknya di tengah-tengah Sinci lainnya, sehingga sangat mudah terlihat.
Haryanto Halim, ketua altar Rasa Dhamma, Semarang, menjelaskan bahwa adanya Papan Sinci Gus Dur karena beliau sangat dihormati di kalangan Tionghoa di Indonesia. Beliau telah melindungi minoritas, memberikan kebebasan, sehingga Papan Sinci dibuat sebagai wujud penghormatan.
"Karena ini langka. Ada papan arwah Gus Dur, mungkin satu-satunya di Indonesia. Kental sekali rasa toleransinya," lanjutnya.
Bukan hanya itu, kalau dulu makanan yang tidak umum disajikan di altar, kini bisa diadakan. Mendoan menjadi hal yang wajib adalah salah satu contohnya.
"Kami diberitahu ibu Shinta Nuriyah Abdurrahman Wahid kalau kegemaran Gus Dur adalah mendoan, jadi kami sediakan. Ini wujud penghormatan Tionghoa terhadap orang yang sudah berjasa."
Penghormatan warga pecinan terhadap Gus Dur melalui Papan Sinci mendapat apreasiasi dari Gusdurian Kota Semarang. Koordinator Gusdurian Semarang, Abdul Ghofar mengatakan hal tersebut sebagai penghormatan dan pengakuan Gus Dur sebagai tokoh toleransi yang membela hak hidup kaum minoritas di Indonesia.
"Terutama beliau menjadi yang terdepan dalam menghapus sikap diskriminasi yang ditujukan bagi warga Tionghoa," kata Ghofar.
Pembredelan 32 Tahun
Selama 32 tahun masa pemerintahan Orde Baru, tahun baru imlek dilarang dirayakan di tempat umum di Indonesia. Larangan ini tertuang dalam Instruksi Presiden Nomor 14 Tahun 1967 tentang Agama, Kepercayaan, dan Adat Istiadat China.