Uda Zaldy Chan, baru saja "ngepol." Sebabnya ia mengulik sebuah artikel dengan judul "Menyigi Ulang Keberadaan "The Power of Beuaty" dalam Politik." Untungnya ia hanya menulis, dan sedang tidak ngomong politik, kalau tidak maka "ngompol" namanya.Â
Menurut pengakuannya, di awal tahun 2019 ia pernah terlibat dengan tulisan-tulisan politik di Kompasiana. Akan tetapi, karena nyawanya tidak berjumlah sembilan, akhirnya ia mengubah karakternya menjadi "Sang Gondrong yang Melo."
Uda Zaldy sukses. Dengan begitu banyaknya rima dan kosakata yang dikuasainya, ia berhasil mengukuhkan diri sebagai Nominator Best in Fiction, Kompasiana Awards 2020.
Apa yang dirasakan patut juga diungkapkan. Banyak orang yang berpikiran seperti diri Zaldy Chan ini. Tidak mau masuk ke dalam ranah politik, karena ngeri-ngeri sedap.
Hal yang sama juga dibedah oleh Kompasianer Ign Joko Dwiatmoko. Baginya penulis kanal politik, macam Elang Salamina, Fery W, Susy Haryawan, Arnold Adoe, Yon Bayu, dan lain sebagainya adalah tipe manusia yang;
"Bermental Wani mumbul, wani ajur. Berani populer tidak takut hancur karena tulisannya."
Lebih lanjut, Mas Joko mengakui dirinya sebagai penulis "cemen, beraninya menulis tentang receh-receh di kanal yang sepi-sepi yang lebih adem dan ayem tentrem."
Baca juga: Tidak Siap Populer dengan Menulis Artikel Politik
Nah, apa yang disebutkan oleh Mas Joko Dwiatmoko ini juga dirasakan oleh ku. Bedanya, kalau Mas Joko memilih jalan adem-ayem, diriku lebih memilih kanal yang juga ngeri-ngeri sedap, yaitu 'kamasutra" (dan angka tentunya).
Namun, bedanya kanal Kamasutra lebih bersifat umum dan tidak menohok langsung kepada pelakunya. Sementara kanal politik itu tidak jarang pakai demosntrasi jurus jet-kune-do. Salah sedikit, bisa kena pasal KUHP.
Mimin pun ngeri-ngeri sedap. Sebabnya kanal yang paling populer di Kompasiana ini bagaikan mendulang berlian di tengah lumpur penuh buaya. Di satu sisi menjadi sumber 'viewers,'Â di sisi lain salah sedikit, kaki lenyaplah sudah.