Soal kesehatan saat ini, adakah yang lebih mendesak daripada pandemi Covid-19?
Semua perhatian dan usaha tertuju padanya. Jumlah pasien yang terus meningkat hingga efektivitas vaksin mengisi kolom harian pada gawaimu. Penyakit lainnya seakan-akan hilang tertelan bumi.
Namun, sadarkah kamu jika negara kita sedang diancam oleh wabah yang jauh lebih seram daripada Covid-19?
Penyakit ini bisa menyerang siapa saja. Penderita akan menderita keracunan darah, pneumonia, pembengkakan hati, ginjal, kelenjar prostat, kelenjar liur, dan limpa.
Penyakit ini juga menular dan sulit dideteksi. Ia sangat mirip dengan gejala penyakit lainnya. Ia pun tidak memiliki gejala spesifik, akibat daya jangkau pengrusakannya yang luas.
Penderita bisa saja mengalami demam, sesak nafas, linlung, nyeri otot, atau bisul pada kulit dan wajah. Satu-satunya cara untuk mendeteksi penyakit ini adalah melalui penelitian di laboratorium mikrobiologi, alias harus dilihat di bawah mikroskop canggih.
Lebih parahnya lagi, meski keberadannya sudah diketahui lebih dari seabad lamanya, kesadaran atau pengetahuan ahli medis terhadap penyakit ini masih tergolong rendah.
Itulah sebabnya, mengapa penderita yang terinfeksi bakteri ini tidak memiliki banyak peluang. Tingkat kematian disebutkan mencapai 70 persen, alias 7 dari 10 orang akan meninggal setelah terinfeksi penyakit ini.
Penyakit ini bernama Meliodosis
Meskipun penyakit ini sudah dideteksi keberadaannya sejak tahun 1911, Jurnal Nature Microbiology baru mempublikasikannya di tahun 2016 lalu. Meliodosis disebabkan oleh bakteri Burkholderia pseudomalle.
Di Australia, pada tahun 2015, diduga ada 165 ribu orang yang diduga terinfeksi bakteri ini, 80 ribu di antaranya mungkin sudah meninggal. Menurut para ahli, dampak wabah ini hampir menyerupai Ebola yang menggemparkan dunia 2015 lalu.
Sayangnya, tidak terpublikasikan dengan baik karena tidak adanya pencegahan ataupun penanggulangan penyakit ini akibat kurangnya pengetahuan para ahli medis.
Wabah ini pertama kali dideteksi pada tahun 1911. Kala itu menyerang para pecandu morfin di Myanmar. Setelah itu, laporan senada juga ditemukan di Thailand, Singapura, Malaysia, Kamboja, dan Australia bagian utara. Pada saat perang Vietnam pun, banyak tentara Amerika yang terjangkit penyakit ini.
Wabah ini tidak berada di perkotaan. Di Asia Tenggara dan Australia utara yang beriklim tropis, banyak ditemukan di daerah pinggiran yang miskin dan kumuh.
Cara Penularan
Cara penularannya bisa lewat meminum air yang terkontaminasi atau terpapar tanah yang terkontaminasi melalui luka pada kulit.
Penyakit ini jarang menular dari orang ke orang. Kendati ada beberapa kasus kecil yang terjadi. Bukan hanya manusia, hewan pun tak luput dari infeksi ini.
Masa inkubasi secara umum adalah 2 hingga 4 minggu setelah paparan infeksi bakteri. Namun, beberapa kasus bisa menunjukkan gejala setelah bertahun-tahun lamanya.
Cara Mencegah Penularan
Meskipun belum ada laporan kasus wabah pada manusia, ada baiknya untuk memahami bahaya laten penyakit ini. Warga Australia menyebut penyakit ini sebagai 'Nightcliff Garderner," karena hubungannya dengan tanah  berlumpur.Â
Oleh sebab itu, langkah pertama pencegahan penularan adalah tetap menjaga lingkungan yang bersih. Selanjutnya adalah menggunakan boot atau sepatu tahan air di sekitar lumpur, tanah, dan air menggenang. Tidak lupa juga untuk menggunakan sarung tangan pada saat besentuhan dengan tanah atau lumpur.
Cara Pengobatan
Bagi pasien yang sudah terpapar Meliodosis, penanganannya bisa berbeda-beda tergantung kasus infeksi. Namun, secara umum pasien memerlukan antibiotik melalui dua tahap.
Tahap Pertama, pemberian antibiotik yang diberikan secara intravena (IV). Durasi pemberian antibiotik harus minimal 10-14 hari dan bisa berlangsung selama 8 minggu.
Tahap Kedua, pemberian antibiotik oral selama tiga hingga enam bulan.
Jenis antibiotik dan penanganan secara keseluruhan akan sangat bergantung pada saran dokter dan ahli medis.Â
Kondisi di Indonesia
Di Indonesia, wabah ini belum dilaporkan menyerang manusia. Akan tetapi, Borneo Orangutan Survival Foudation (BOSF)Â telah mendeteksi adanya kasus penyebaran bakteri ini pada populasi orangutan.
Saat ini telah dilakukan kerja sama lebih lanjut antara BOSF, Pusat Studi Satwa Primata LPPM-IPB, dan Program Studi Primatologi Sekolah Pasca Sarjana IPB.
Langkah konkrit yang diambil mencakup 1) penelitian dan studi kasus meliodosis, 2) Upaya pencegahan dan penanggulangan, 3) Diagnosis dan pengobatan Meliodosis, hingga 4) Menerbitkan satu artikel di jurnal internasional bereputasi terkait Meliodosis pada orangutan Kalimantan.
Penemuan Terbaru
Para peneliti dari Griffith University dan Bond University, Australia menemukan fakta lain dari bakteri ini. Meliodosis mampu mematikan korbannya dalam waktu sehari atau 24 jam.
Pada umumnya, bakteri ini masuk ke tubuh melalui air yang diminum atau luka pada tubuh. Namun, ketika seseorang menghirup udara dari tanah yang mengandung bakteri, ia pun bisa terinfeksi.
Dengan kata lain manusia bisa terjangkit melalui udara (airborne) dan masuk ke saluran pernapasan. Sekali memasuki sistem pada tubuh manusia, bakteri ini menyebar hingga ke otak, saraf tulang belakang, dan mematikan.Â
"Bayangkan berjalan di sekitar dan Anda mengendus itu dari tanah dan hari berikutnya Anda punya bakteri ini dalam otak, dan merusak sumsum tulang belakang,"Â kata Dr James St John, Kepala Griffith Clem Jones Centre for Neurobiology and Stem Cell Research.
Senjata Biologi
Senada dengan hal ini, Profesor Ifor Beacham dari Institute Glycomics mengatakan bukan hal aneh jika bakteri ini masuk melalui hidung. Namun, yang menjadi persoalan adalah kecepatan bakteri ini menyebar ke organ tubuh.
Perlu menjadi perhatian dari dunia medis akan bahaya penyakit ini. Bukan saja dari minimnya pengetahuan, kurangnya pengawasan, hingga jumlah korban yang ditimbulkan lagi.
Lebih lanjut, Dr. St. John juga menambahkan sebuah bahaya yang lebih dahsyat lagi. Bakteri ini memiliki kategori dan potensi untuk digunakan sebagai senjata biologi. Oleh sebab itu, tidak bisa dihiraukan.
SalamAngka
Rudy Gunawan, B.A., CPS
Numerolog Pertama di Indonesia -- versi Rekor MURI
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H