Mohon tunggu...
Acek Rudy
Acek Rudy Mohon Tunggu... Konsultan - Palu Gada

Entrepreneur, Certified Public Speaker, Blogger, Author, Numerologist. Mua-muanya Dah.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Orang Bijak Minum Jamu, Orang Hebat Baca Jampi, Orang Pintar Pakai Jimat

24 Januari 2021   13:29 Diperbarui: 24 Januari 2021   13:46 1662
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Foto Penjual Jamu Tempo Dulu (sumber: surabayastory.com)

Orang pintar minum jamu. Ini yang hendak dikatakan oleh salah satu produsen jamu terkenal Indonesia.

Tidak ada hubungannya antara produk jamu yang dipromosikan dengan kepintaran. Sebabnya bintang iklan yang disuguhkan memang sudah pintar.

Bagi penulis, lebih cocok jika mereka yang minum jamu adalah orang yang bijaksana. Sebabnya jamu adalah kebanggaan Indonesia. Orang Bijak Cinta Indonesia.

Jamu merupakan minuman berkhasiat Indonesia. Diyakini sebagai obat alami untuk kesehatan dan menyembuhkan bermacam penyakit. Jamu bukan hanya sekedar suplemen atau obat saja.

Tradisi minum jamu ini diperkirakan sudah ada sejak sekitar 700 tahun yang lalu.

Jamu dapat tumbuh subur di Indonesia, karena ia terbuat dari berbagai jenis tumbuhan herbal yang dapat dengan mudah ditemukan. Layaknya kuliner, setiap daerah pasti memiliki jenis jamu yang berbeda, menyesuaikan dengan jenis tanaman herbal lokal.

Meskipun kelihatan sederhana, tetapi teknik khusus sangat penting dalam pembuatannya. lama menumbuk, cara merebus, sais takaran, hingga suhu penyimpanan, semua dimaksudkan agar jamu tak hilang khasiatnya.

Seiring waktu berjalan, produksi jamu tidak lagi berada di rumahan. Produsen jamu mampu menunjukkan eksistensinya sebagai perusahaan multi nasional dengan omzet triliunan rupiah per tahun.

Ilustrasi bakul jamu (sumber: kompasiana.com/leya21951)
Ilustrasi bakul jamu (sumber: kompasiana.com/leya21951)
Sejarah perkembangan jamu di Indonesia mengalami pasang-surutnya sendiri. Secara umum serba-serbi jamu terbagi dari tiga masa, yaitu:

Zaman prasejarah, dimana manusia Nusantara mulai belajar untuk memanfaatkan pengolahan hasil hutan untuk kesehatan.

Zaman penjajahan, dimana perkembangan jamu mulai berasimilasi dengan budaya asing.

Zaman setelah kemerdekaan, yang ditandai dengan tumbuh berkembangnya industri jamu tanah air.

Banyak kisah menarik tentang jamu, mulai dari legenda hingga sejarah. Situs arkeologi tertua tentang jamu berada di lereng Gunung Sindoro, Jawa Tengah. Artefak yang ditemukan berupa sejenis cobek dan ulekan, alat untuk membuat jamu.

Selain itu, di Yogyakarta dan Surakarta, alat pembuat jamu lainnya juga marak ditemukan. Relief-relief Candi Borobudur, Candi Prambanan, Candi Brambang, banyak mengisahkan kesaktian para pendekar dan petinggi kerajaan yang diperoleh dari ramuan herbal.

Gambar relief obat herbal di salah satu candi di Indonesia (sumber: kumparan.com)
Gambar relief obat herbal di salah satu candi di Indonesia (sumber: kumparan.com)
Di zaman kolonial, pada saat ilmu pengobatan modern pertama kali masuk ke Indonesia, tradisi minum jamu mengalamai degradasi. Kampanye obat-obatan bersertifikat berhasil mengubah pola masyarakat Indonesia. Jamu dipertanyakan, akan bukti kekhasiatannya terhadap kesehatan.

Di zaman penjajahan Jepang, tradisi minum jamu kembali populer dengan terbentuknya Komite Jamu Indonesia. Dengan perkembangan teknologi, jamu pun berasimilasi. Jamu mulai banyak ditemukan dalam bentuk pil, tablet, dan juga bubuk instan yang mudah diseduh.

Di tahun 1974 hingga 1990, dikenallah istilah Fitofarmaka, alias industri jamu. Pembinaan dan dukungan oleh pemerintah meramaikan tumbuh maraknya industri ini secara masif.

Sayangnya perkembangan teknologi ini membuat semakin sedikit generasi muda yang ingin mempelajari cara membuat jamu. Bagi mereka jamu tiada lain hanyalah sachetan pelengkap yang dapat dengan mudah diperoleh di mini market terdekat.

Jamu adalah warisan turun-temurun yang berasal dari budaya Nusantara asli. Jamu memiliki banyak faedah. Bukan hanya dari sisi kesehatan saja, tetapi juga makna filosofis yang terkandung di dalamnya.

Foto bakul jamu (sumber: greak-nafas.blogspot.com)
Foto bakul jamu (sumber: greak-nafas.blogspot.com)
Bagi penulis, memahami ilmu jamu sama seperti menguasai mantra kuno nan sakti. Memahami pola berpikir para buyut, sama seperti berkomunikasi dengan ruh para leluhur akan kearifan budaya lokal ratusan tahun yang lalu.

Siapa tahu saja, di antara ilmu kuno tersebut, terdapat rahasia yang mampu memberikan kesaktian pendekar sakti dari zaman Majapahit? Mana tahu proses pembuatan jamu juga melibatkan banyak jampi-jampi sakti?

Ngomong-ngomong tentang jampi, tahukah kamu jika Jamu berasal dari dua kata Jawa Kuno, yaitu Djampi dan Oesodo, yang berarti "Penyembuhan-Kesehatan"

Tidak semua orang yang dianggap mampu memberikan Djampi-Oesodo ini. Hanyalah orang terpilih yang memiliki resep warisan dan keahlian turun temurun. Tidak heran jika posisi ini dianggap sakti oleh masyarakat.

Begitu pula dengan kata "Jampi-Jampi," yang seharusnya berarti pengobatan ini kemudian berkembang menjadi, "kata-kata atau kalimat yang dibaca atau diucapkan, dapat mendatangkan daya gaib (pengobatan)." (KBBI).

Perkembangan istilah ini disebabkan karena dulunya, ahli pengobatan tradisional atau dukun selalu membaca doa yang dimohonkan kepada Tuhan YME sebelum memberikan ramuan untuk menyembuhkan penyakit.

Itulah mengapa sebagian masyarakat memandang Jamu sebagai hal klenik yang berbau mistis. Padahal jika ditelaah lebih jauh, doa pada jamu yang berasal dari herbal dan ekstrak alami ini hanyalah unsur pelengkap.

Bukankah sangat manusiawi jika berdoa untuk memohon pertolongan kepada Tuhan YME?

Foto Penjual Jamu Tempo Dulu (sumber: surabayastory.com)
Foto Penjual Jamu Tempo Dulu (sumber: surabayastory.com)
Kini Mpok penjual jamu sudah tidak lagi ditemukan di seputaran Kota Makassar. Di zaman penulis masih kecil dulu, masih banyak yang berkeliaran. Bakul yang berisi botol-botol jamu digendong dengan penuh semangat. Jamu gendong memang tidak bisa terlepas dari sejarah jamu itu sendiri.

Sejarah mencatat bahwa perkembangan meracik jamu kental dengan kalangan istana. Kala itu, jamu hanya diracik bagi keluarga kerajaan. Pengenalan jamu ke luar keraton diperkirakan terjadi pada akhir Kerajaan Majapahit dan berlanjut pada kerajaan-kerajaan sesudahnya.

Pada awalnya, jamu juga hanya dibuat oleh mereka yang memiliki keahlian khusus turun-temurun saja. Orang-orang pintar ini tidak banyak jumlahnya dan pada umumnya hanya terkonsentrasi di seputaran lingkar istana saja.

Distribusi pengobatan tradisional tidak bisa dilakukan sampai ke pelosok desa. Masyarakat yang tinggal jauh dari orang pintar tersebut kemudian membutuhkan perantara.

Orang yang diberikan kepercayaan untuk sistem distribusi kemudian menciptakan peluang ekonomi baru dengan sistem barter. Jamu yang ditukar dengan bahan makanan sangat menguntungkan kedua belah pihak.  

Lama kelamaan, distribusi jamu ke pinggiran menjadi rutin. Pada perkembangan berikutnya, penjualan jamu di desa-desa dilakukan secara berkeliling.

Pada tahap selanjutnya, masyarakat desa tidak lagi memerlukan jasa orang pintar. Agar praktis, mereka lantas mengelola jamunya sendiri, berdasarkan resep yang diperoleh dari sang orang pintar.

Resep ini terbukti ampuh dan disebarkan dari mulut ke mulut, sehingga semakin banyak orang yang mengetahuinya. Di sinilah merupakan awal perkembangan industri jamu di pedesaan.

Ilustrasi Bakul Jamu Zaman Dulu (sumber: kabarsidia.com)
Ilustrasi Bakul Jamu Zaman Dulu (sumber: kabarsidia.com)
Meskipun di bawah penjajahan kolonial Belanda, ketenaran jamu tidak tergoyahkan dengan sistem pengobatan modern. Buku pertama tentang jamu malah ditulis oleh seorang wanita asal Belanda, yang bernama Kloppernburg-Vesrsteegh, di tahun 1911.

Peneliti asal Eropa lainnya yang bernama Jacobus Bontius, juga menulis sebuah buku yang mengulik komposisi tentang minumam tradisional jamu ini.

Popularitas jamu memuncak pada abad ke-19 bagi warga Eropa. Saat itu banyak dokter dan peneliti asal Eropa menemukan khasiat pada jamu yang mampu menyembuhkan beberapa penyakit 'aneh' di saat itu.

Foto Penjual Jamu (sumber: goodnewsfromindonesia.id)
Foto Penjual Jamu (sumber: goodnewsfromindonesia.id)
Melestarikan budaya Indonesia adalah hal yang baik untuk dilakukan. Walaupun demikian pengaruh budaya asing juga bisa menjadi pelengkap asimilasi. Pencampuran budaya memang tak terelakkan, terlebih di dunia tanpa batas seperti sekarang.

Cara menyikapi budaya Indonesia yang baik adalah dengan memperlakukan seluruh budaya di dunia pada level yang sama. Tidak menganggap kebudayaan tertentu lebih tinggi dari yang lainnya. Dengan kata lain: Menghargai budaya lain tanpa harus mengikis budaya sendiri.

Pada dasarnya budaya terbentuk dari pola hidup setiap bangsa dalam kondisinya masing-masing. Tuhan menciptakan semua manusia sederajat, tidak ada yang lebih tinggi atau rendah.

Janganlah menutup diri terhadap sesuatu yang dianggap kuno. Jangan pula nyinyir terhadap sesuatu yang dianggap tak ilmiah. Hargai setiap warisan pemikiran para leluhur dengan sopan dan penuh santun, termasuk jampi dan jimat.

Masihkah Engkau Tidak Percaya? 123456789 (Kode Keras!!!).

Referensi: 1 2 3 4

SalamAngka

Rudy Gunawan, B.A., CPS

Numerolog Pertama di Indonesia -- versi Rekor MURI

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun