Sejak zaman Adam Hawa hingga Adam Levine, manusia selalu hidup berdampingan dengan hewan. Hewan dengan ribuan spesiesnya telah menjadi warna warni di tengah kehidupan manusia.
Manusia dengan segala akal budi telah berada pada level tertinggi rantai kehidupan. Mewakili sang Pencipta untuk bertanggung jawab terhadap alam dan segala isinya. Dengan demikian, manusia bebas untuk mendefenisikan peranan hewan berdasarkan hubungannya dengan dunia manusia.
Tanpa disadari, hewan-hewan tertentu sudah memiliki predikat yang melekat di kepala manusia. Anjing sebagai sahabat setia, tikus sebagai koruptor, keledai yang dunggu, dan lain sebagainya.
Dengan demikian, jelas bahwa hubungan manusia dan hewan tidak hanya sebatas hidup berdampingan, namun merupakan bagian dari ekspresi. Tidak heran jika dalam konsep linguistik, hewan sudah sering menjadi langganan metafora.
Metafora Bentuk Cinta dan Pujian
Hewan yang imut dan kecil misalnya sering disematkan sebagai nama kesayangan bagi kekasih atau anak kecil. Kucing terhadap seseorang yang manja, domba bagi seseorang yang lembut, dan singa untuk yang jantan.
Sementara itu, hewan yang memiliki nilai-nilai tertentu sering dijadikan pujian bagi seorang yang dikagumi. Berhati singa yang berarti berhati besar atau mata elang bagi yang memiliki penglihatan tajam.
Metafora Perbandingan
Pada metafora ini, karakter hewan disematkan dalam sifat manusia. Menyebutkan orang laksana kuda, berarti ia adalah pekerja keras. Menyebut orang seperti ayam artinya ia penakut, dan ular bagi mereka yang licik.
Selain itu, bentuk fisik juga termasuk dalam metafora pebandingan ini. Badannya seperti kerbau, artinya bertubuh besar, hingga wajah bagai kodok, kuda, atau tikus, yang secara keseleruhan artinya tidak sedap dipandang.
Metafora Penghinaan
Jenis metafora ini adalah yang paling umum digunakan. Masih ingat peristiwa kerusuhan di Papua akibat kejadian di Jawa Timur yang menyebut mahasiswa papua dengan jenis seekor binatang?
Jenis metafora ini lazim terdengar dan sering menjadi bumbu ujaran kebencian. Sifat binatang secara langsung disematkan pada orang yang tidak disukainya. Anjing, babi, kerbau, ular, dan lain sebagainya, menjadi perbandingan langsung terhadap rasa kebenciannya.
**
Membandingkan manusia dengan hewan itu memag problematik. Di satu sisi, fabel yang sudah sering kita dengarkan mengajarkan bagaimana moral manusia dapat diterjemahkan lebih mudah ke dalam otak anak kecil yang masih polos. Â
Penggunaan binatang di dalam fabel dikisahkan sebagai pengganti manusia yang bisa berpikir, bersikap, dan berkomunikasi. Tujuannya agar anak-anak dapat lebih mudah mengembangkan imajinasinya, sehingga pesan moral yang terkandung di dalamnya juga dapat dengan mudah diserap.
Namun di sisi lain, pesan moral melalui ketokohan para hewan kemudian sering  dijadikan sebagai ungkapan ekspresi kebencian kepada sesama manusia.
Mengapa manusia mudah terpancing emosinya jika dibandingkan dengan binatang pada sebuah makian? Ada dua hal yang menjadi dasar di sini.
Yang pertama karena beberapa jenis hewan tersebut adalah musuh manusia. Ular, lintah, tikus, lalat, dan lain sebagainya tidak dikenal sebagai hewan yang menjijikkan. Mereka dibenci oleh kaum manusia. Oleh sebab itu metafora binatang ini terasa paling pas untuk mengekspresikan kebencian.
Yang kedua adalah untuk merendahkan martabat. Meskipun anjing dikenal sebagai sahabat setia manusia, namun tetap ia adalah seekor binatang yang memiliki peringkat yang lebih rendah. Memanggil seseorang dengan kera, babi, atau kuda, jelas yang dimaksud adalah untuk merendahkan derajatnya.
Konsep Kebinatangan
Manusia adalah mahluk yang berakhlak, beradab, dan bermoral; sementara hewan tidak.
Kalimat di atas sebenarnya cukup bagus untuk mengingatkan diri kita agar senantiasa berbudi pekerti luhur dalam keseharian. Sayangnya, konsep hirearki ini justru seringkali membutakan hati dengan menyatakan bahwa spesies manusia memiliki kuasa penuh atas kehidupan.
Sebenarnya tidak semua hewan berkonotasi negatif. Namun, jika sudah berubah menjadi sebuah metafora, maka konsepnya keburukannya akan menjadi lebih menonjol.Â
Tanpa disadari, seseorang yang dikonotasikan sebagai seekor hewan dalam maksud apapun tetap menimbulkan konsep ketidaksamaan derajat. Keberadaannya lebih rendah.
Hati-hati dalam menggunakan metafora ini kepada sesama manusia. Meskipun kamu tidak bermaksud untuk menghinanya, tetapi ingatlah bahwa metafora ini sudah bertanggung jawab untuk kematian jutaan jiwa dalam ujaran-ujaran kebencian yang beredar sepanjang sejarah manusia.
"Konsep metafora ini sangat mengejutkan; bagaimana ia bisa menyingkap kenyataan buas diri kita sebagai manusia."Â Nick Haslam Professor of Psychology, University of Melbourne
SalamAngka
Rudy Gunawan, B.A., CPS
Numerolog Pertama di Indonesia -- versi Rekor MURI
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI