Ada sebuah pepatah yang mengatakan, "marah tanda cinta." Apakah Anda setuju dengan pernyataan ini?
Bagi penulis sendiri, di saat sedang marah, tidak ada satu pun perasaan cinta yang keluar. Adanya emosi tok. Lantas bagaimana dengan bunda yang memarahi anaknya? Bukannya itu adalah tanda cinta? Kembalikan pertanyaan ini kepada dirimu sendiri. Adakah perasaan cinta pada saat kamu memarahi sang buah hati?
Marah dan meluapkan emosi kepada orang yang paling dekat, terasa lebih mudah. Cobalah renungkan, berapa kali kamu berkata kasar, meluapkan kekesalan pada keluarga di rumah? Bandingkanlah dengan jumlah kemarahanmu pada teman-teman. Mana yang lebih sering? Jika kamu menjawab keluarga, maka itu sama dengan kebanyakan orang lain di dunia ini.
Sebuah studi terbaru oleh Deborah South Richardson, seorang professor psikologi, di Georgia Regents University, mengatakan bahwa "model penyaluran emosi bergubungan dengan kualitas hubungan dengan sang penerima amarahmu."
Artinya semakin dekat hubungan kamu dengan seseorang, semakin sering dan terbuka juga penyampaian emosimu
Dari sisi kesehatan, meluapkan emosi memang perlu. Dikutip dari sumber (klikdokter.com), ada 3 alasan, mengapa marah itu baik untuk kesehatan:
Pertama, membantumu mengeluarkan apa yang benar-benar dirasakan. Setiap orang pasti memiliki unek-unek yang susah disampaikan kepada orang lain. Jika perasaan ini ditimbun, bisa menimbulkan gangguan jiwa yang berbahaya. Mengeluarkan amarah dianggap sebagai saluran untuk melepaskan perasaan ini.
Kedua, untuk menerapkan aturan. Professor James Averill dari Universitas Massachusettes, AS, melakukan penelitian bahwa orang yang marah mampu menyelesaikan masalah dengan lebih baik. Menurutnya, kemarahan kadang bisa membuat semua pihak menjadi lebih penurut, jujur, dan akomodatif. Khususnya bagi anak-anak yang bandel di rumah.
Ketiga, otak merasakan kemarahan dalam hal positif. Prof. James juga mengatakan bahwa seseorang akan merasa lebih lega, bahagia, dan optimis setelah melepaskan amarah. Hal ini bisa dibuktikan secara sains.Â
Seorang peneliti dari The Berkeley Social Interaction Laboratorium, AS, mengatakan bahwa otak yang mengalami kemarahan dengan otak pada orang yang sedang bahagia, keduanya tampak sama.
Lantas mengapa kita terasa mudah meluapkan emosi kepada orang terdekat?
Ada beberapa hal yang menjadi penyebab di sini:
Pertama, perasaan aman. Bukannya jika memarahi keluarga sendiri, risiko digebukin orang sekampung lebih kecil? Pikiran kita sudah terbentuk, jika memarahi suami, istri, atau anak, maka semuanya akan kembali baik-baik saja.
Kedua, stigma yang wajar di masyarakat. Pertengkaran dalam rumah tangga adalah urusan pribadi yang seyogyanya tidak untuk dicampuri. Sebarapa sering kamu marah dan terdengar tetangga? Seberapa sering tetangga datang untuk merelai masalah rumah tanggamu? Tidak banyak orang yang ingin mencampuri urusan keluarga, jika tidak betul-betul kelewatan.
Ketiga, bagian dari tradisi keluarga. Seringkali ada manusia yang dibesarkan dari keluarga yang sangat keras dan disiplin. Dimarahi ayah bunda dengan gaya militer, tanpa sadar membentuk karakter dalam dirinya untuk melakukan hal yang sama terhadap anak-anaknya.
Namun demikian, kita juga harus sadar bahwa sikap emosional yang berlebihan kepada keluarga sendiri, juga membawa dampak yang buruk. Tidak jarang terdengar kabar bagaimana seorang anak membunuh ibunya karena kesal terlalu sering disalahkan.
Untuk itu, ada bagusnya memahami hal apa saja yang bisa menyebabkan kemarahan pada keluarga?
Dikutip dari sumber (haibunda.com), ada beberapa alasan yang berpotensi menimbulkan suasana kelam ini:
- Kelelahan fisik dan mental
- Kurangnya dukungan dari keluarga
- Masalah persahabatan atau hubungan
- Kekhwatiran finansial
- Stres karena menjaga kerabat yang lanjut usia atau sakit
- Masalah pekerjaan
- Kurang waktu senggang untuk diri sendiri (me-time)
Setelah mengetahui penyebabnya, maka ada beberapa hal yang bisa kita lakukan untuk mengurangi friksi yang mungkin bisa menimbulkan potensi pertengkaran yang tidak perlu.
Menyediakan waktu dan anggaran untuk 'Me-time'
Jika seseorang sedang emosi, maka biarkanlah ia tenang tanpa harus dikekang. Jika kamu emosi, maka hindarilah bertemu dengan siapa pun yang bisa menjadi sasaran luapan kemarahan. Namun sebelum emosi itu muncul, maka carilah waktu untuk menyenangi dirimu sendiri.
Setiap orang memiliki cara untuk menikmati me-time. Sebagian memilih cara dengan membelanjakan uangnya membeli barang-barang mahal. Namun hal yang sederhana juga bisa dilakukan tanpa biaya yang besar. Berjalan-jalan di taman, meminum kopi di teras rumah, atau menulis artikel di Kompasiana, bisa menjadi pilihan yang murah meriah.
Hindari pembicaraan yang berasal dari sumber kekhawatiran
Ada bagusnya menerapkan aturan untuk tidak berbicara masalah pekerjaan saat berada di rumah. Pekerjaan itu penting, namun tidak bisa dipungkiri bahwa ia bisa menjadi sumber dari seluruh tekanan. Kecuali jika pasangan Anda menginginkan, maka kamu bisa mengkomodir. Namun usahakan yang dibicarakan adalah hal yang ringan saja, seperti gosip kantor atau kejadian lucu yang dialami.
Pun halnya jika ada hal lain yang menjadi sumber kekhwatiran, seperti orangtua yang sakit atau masalah keuangan. Hindarilah kepanikan dengan mendesak pasanganmu untuk memberikan solusi. Terlebih jika rasa frustasi datang menghampiri, jangan pernah menyalahkan siapa pun atas kondisi yang sedang dialami.
Melakukan hal yang bagus bersama keluarga
Sadarilah bahwa rumah adalah tempat berkumpulnya keluarga. Akan tetapi selain tidur besama, berapa banyak aktivitas yang biasa dilakukan bersama. Kepenatan dari aktivitas harian bisa membuat seseorang menjadi lupa akan pentingnya keakraban dalam keluarga.
Di saat malam atau sedang libur, cobalah melakukan hal sepele namun berkesan. Bermain-main dengan anak atau menonton bersama keluarga bisa menjadi ajang hiburan yang bermanfaat. Sesekali mengajak keluarga untuk berekreasi atau makan di luar dapat memberikan memori berkesan yang selalu dirindukan.
Melakukan praktik relaksasi
Jika diri sudah terbiasa melakukan kekerasan kata dalam rumah tangga, maka sudah saatnya untuk memperbaiki situasi. Beberapa cara bisa dilakukan. Praktik meditasi adalah salah satunya.Â
Tetap berkonsentrasi dan bertekad untuk mengubah perilaku melalui praktik meditasi atau relaksasi lainnya dapat membuat dirimu menjauhi sifat buruk yang sudah lama tertanam.
Jadikan kemarahan sebagai bentuk terapi
Jika marah terasa perlu, maka jadikanlah ia sebagai terapi. Keluarga harus memahami bahwa kemarahan adalah hal yang takbisa dicegah. Jika ada salah satu anggota keluarga yang sedang marah, janganlah dibalas dengan kemarahan.Â
Bagi anggota keluarga yang tak bisa menahan amarahnya, maka marahlah dengan alasan. Yang terpenting jangan jadikan kemarahan sebagai suatu kebiasaan. Selain sangat mencekam, kamu juga akan kehilangan rasa hormat.
Menjaga rumah tetap bersih dan asri
Sepele tapi penting. Rumah adalah tempat yang seharusnya nyaman untuk ditinggali. Seringkali karena kesibukan atau kebiasaan, rumah tidak pernah dibersihkan.Â
Teori fengshui mengatakan bahwa rumah yang baik adalah rumah yang bersih tertata. Jika tidak, maka energi buruk akan datang menghampiri. Logikanya adalah suasana hati pada rumah yang asri pasti akan terasa berbeda dengan rumah yang amburadul.
Wasana Kata
Sesungguhnya memang benar bahwa kemarahan adalah bentuk rasa sayang. Seorang anak yang tidak mau mendengarkan, memang kadang harus dimarahi untuk bekal masa depannya.Â
Anak yang terlalu dimanja juga akan membentuk pribadi yang buruk. Ia akan tumbuh menjadi anak yang selalu harus dituruti dan berbagai kepribadian busuk lainnya.Â
Selain itu, tidak ada salahnya juga meluapkan kemarahan pada pasangan. Suami istri yang baik kadang harus bersikeras mempertahankan prinsipnya. Tidak ada seorang pun yang mampu melihat dari dua sisi yang berbeda. Bentuk kemarahan kadang bisa menjadi hal positif untuk saling mengingatkan.Â
Akan tetapi, kemarahan yang berlebihan adalah bentuk yang semena-mena. Jika kamu bisa berperilaku baik dan sopan kepada orang lain, mengapa tidak melakukan hal yang sama kepada keluarga? Sebab, bagaimana pun juga keluarga adalah labuhan pertama dan terakhir dalam hidup ini. Â
Semoga Bermanfaat!
SalamAngka
Rudy Gunawan, B.A., CPS
Numerolog Pertama di Indonesia -- versi Rekor MURI
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H