Telur dan ayam bisa saja menjadi perdebatan mengenai yang mana duluan ada, namun di atas meja makan, mereka menjadi duo maut yang mampu mencetarkan selera makan nan nikmat.
Sejak tahun 2018, sesuai dengan data BPS, produksi daging ayam ras telah mencapai 116,9% dari kebutuhan nasional. Sementara produksi telur sudah melampaui 101,5% dari kebutuhan nasional.
Bahkan menurut Direktur Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan, I Ketut Diarmita, "Sampai Mei 2020, diperkirakan terdapat surplus daging ayam ras sebesar 270.894 ton, atau rata-rata surplus sebesar 54.179 ton per bulan." (ekonomi.bisnis.com).
Masalahnya bukan pada produksi, namun konsumsi per kapita telur dan daging ayam di Indonesia masih terbilang rendah dibandingkan negara tetangga. Padahal tidak dapat dipungkiri, kedua jenis makanan ini adalah sumber protein yang sangat bermanfaat bagi manusia.
Lantas apa saja yang menyebabkan hal ini? Apakah di Indonesia, ayam dan telur kurang diminati atau terkait dengan pasokan yang sebenarnya masih kurang?
Ternyata tidak sesederhana itu, kompleksitas pasokan dan permintaan ayam dan telur di Indonesia, dapat menyamai pertanyaan, "yang mana lebih dulu, telur atau ayam?"
Kompleksitas Permintaan Ayam dan Telur
Level Kemiskinan
Menurut data BPS, jumlah penduduk miskin pada Maret 2020 telah mencapai 26,42 juta orang atau sekitar 9,78% penduduk Indonesia. Jumlah ini bertambah sekitar 1,63 juta jiwa dari September 2019.
Penyebab utamanya karena adanya pandemi Covid-19, yang mempengaruhi aktivitas ekonomi dan menurunnya pendapatan dari semua lapisan masyarakat. Dari sebuah survei demografis, ditemukan bahwa: sebanyak 35,78% penduduk yang bekerja mengalami penurunan pendapatan. 18.34% dirumahkan, 2,52% terimbas PHK, dan 22,74% tidak memiliki pekerjaan.
Pada periode September 2019 hingga Maret 2020, BPS juga mencatat kenaikan harga eceran dari beberapa komoditas bahan pokok secara nasional, yaitu: Â beras naik 1,78%, daging ayam ras 5,53%, minyak goreng 7,06%, telur ayam ras 11,1%, dan gula pasir naik 13,35%. Hal ini tentu mempengaruhi penurunan pada seluruh lini pengeluaran konsumsi rumah tangga.
Kurangnya Edukasi dan Kampanye Hitam Telur dan Ayam
Vice Presidenty Feed Tech PT Charoen Pokphand Indonesia (CPI), TBK, dokter hewan Desianto B. Utomo tidak setuju jika konsumsi daging ayam dan telur akibat daya beli masyarakat yang rendah.
Menurutnya, Indonesia hanya belum gencar mengkampanyekan pentingnya gizi dari daging ayam dan telur. Edukasi kepada masyarakat tidak terlaksanakan secara kolektif ke masyarakat. Masih banyak rumah tangga yang belum punya kesadaran gizi bagi keluarga.Â
Kampanye hitam terhadap ayam dan telur juga telah beredar di masyarakat, tanpa diketahui asal sumbernya. Misalnya ayam suntik hormon, rekayasa genetik, atau telur palsu buatan China. Semuanya tidak benar.
Perubahan Pola Hidup Sehat
Dalam kurun satu dasawarsa terakhir, telah terjadi perubahan ke arah gaya hidup sehat. Hal ini juga memberikan pengaruh kepada pola makanan sehat bagi para pelakunya.
Di beberapa negara seperti Amerika Serikat, permintaan untuk produk berbasis nabati meningkat sampai dengan 53%. Berbagai jenis resep masakan berbasis nabati mulai menjadi tren yang mampu menciptakan makanan lezat dan sehat sekaligus.
Mengurangi gaya hidup tidak sehat
CNBC melaporkan sepanjang paruh pertama tahun 2019, data riset pasar Nielsen mencatat bahwa total volume penjualan industri rokok dalam negeri mengalami koreksi sebesar 8,6% secara tahunan atau mengalami penurunan sebesar 11,1 miliar batang dibandingkan dengan semester I tahun 2018.
Penurunan ini disebabkan karena semakin banyak masyarakat yang sadar akan kesehatan dan semakin tidak populernya gaya hidup merokok di antara kaum milenial.
Kampanye Gaya Hidup Sehat
Para influencer dan selebriti juga sudah mulai memulai kampanye hidup sehat dengan memperbanyak kegiatan olahraga, seperti fitness, golf, atau gowes. Tubuh ideal dengan istilah Body Goals ramai diperbincangkan di media sosial. Kesehatan sudah menjadi hal yang ekslusif bagi masyarakat.
Tahun 2019 ditandai dengan munculnya tren baru seperti diet karbohidrat, keto-friendly, hingga mengonsumsi berbagai lemak sehat. Tahun 2020 dilanjutkan dengan tambahan diet daging nabati, diet bebas gula, susu oat sebagai alternatif minuman non-susu, hingga pola diet adaptogen yang berguna untuk menghambat stress dan menyehatkan otak.
Pola adaptogen ini melibatkan tanaman herbal yang dapat meningkatkan imun tubuh dari serangan stress, seperti seledri, kunyit, kemangi, licorice, hingga ginseng. Â Â Â
Baca juga:Â Mengenai Delirium Gejala Covid-19, Mengenal Diet Adaptogen untuk Pencegahan
Selain itu ada juga diet Vegan yang ramai diperbincangkan. Mendapat julukan sebagai gaya hidup paling sehat, para Vegan menerapkan kondisi yang bukan hanya tidak mengonsumsi daging-dagingan, namun juga makanan turunan berbasis hewan seperti telur, susu hingga madu.
Mereka mengutamakan kesadaran untuk menjaga kelestarian alam dengan perasaan welas asih terhadap hewan. Para Vegan bahkan tidak menggunakan produk yang terbuat dari kulit atau bulu hewan, atau melakukan aksi pengrusakan lingkungan seperti menggunakan produk yang bisa membahayakan lingkungan.
Meskipun Indonesia tidak termasuk dalam 10 besar negara dengan penganut Vegetarinisme dan Veganisme, namun menurut CNN Indonesia, diet vegan menjadi paling populer di dunia maya.
Brandwatch, perusahaan intelijen konsumen digital yang berkantor pusat di Brighton, Inggris, berhasil mengevaluasi profil Influencer dan mendapatkan hasil bahwa diet vegan yang mengacu kepada keseluruhan gaya hidup menjadi yang teratas dalam cuitan di media sosial.
Pandemi Covid-19 yang menimbulkan kampanye pola hidup sehat dengan mengonsumsi makanan yang dapat meningkatkan imun tubuh, turut menjadi andil dalam turunya konsumsi daging secara umum. Belum lagi isu tambahan bahwa Covid-19 berasal dari kebiasaan memakan makanan dari hewan liar yang akhirnya juga berimbas kepada makanan ternak lainnya.
Kompleksitas Persediaan Ayam dan Telur
Produksi ayam di Indonesia per September 2019 mencapai 3,7 milliar ekor dengan kenaikan rata-rata 5% per tahun. Dengan hasil ini Indonesia menjadi negara kedua terbesar penghasil ayam di Asia Tenggara, bahkan termasuk 10 besar di Asia. Â
Dari kenyataan ini, industri perunggasan Indonesia sangat prospektif. Kapitalisasi produksi dan perdagangan ayam ras dan telur mulai dari hulu ke hilir mencapai angka 500 triliun. Demikian pula di lantai bursa, harga saham perusahaan-perusahaan berbasis peternakan ayam masih kinclong.
Namun sayangnya kondisi ini tidak merefleksikan kenyataan nyata bisnis peternakan ayam. Dengan fakta bahwa kerap kali harga ayam hidup harus melorot di bawah harga pokok produksi, banyak peternak yang terancam berguguran.
Harga yang terus turun menimbulkan kenyataan pahit lainnya. Kerugian yang dialami terus menerus membuat modal habis terkuras, utang tidak terbayarkan, dan biaya pekerja menjadi beban yang tak terelakkan.
Peta bisnis ayam dan telur di Indonesia terbagi atas dua jenis, yaitu perusahaan besar yang terintegrasi memproduksi bibit sampai budi daya, dan peternak mandiri yang tidak berafiliasi dengan perusahaan terintegrasi.
Peternak yang terintegrasi mungkin masih bisa terselamatkan dengan kekuatan finansial yang mumpuni, namun peternak mandiri yang menggunakan modal kecil akan terasa sangat sulit membayar hutang di bank. Â
Asal Muasal Permasalahan
Salah satu masalah bahan pangan yang paling klasik di Indonesia adalah fluktuasi harga, tanpa terkecuali daging ayam dan telur. Menjelang hari raya, harga telur dan daging ayam akan naik meroket.
Sebaliknya pada bulan lainnya, harga bisa saja turun melandai di bawah harga produksi, bahkan harga minimum yang sudah ditetapkan oleh pemerintah.
Fluktuasi harga ini tidak bisa dipandang sebelah mata. Memiliki pengaruh yang besar terhadap berkurangnya konsumsi dan juga keengganan para produsen menyediakan barang di pasar.
Permasalahan Bahan Baku Impor
Ketidakstabilan suplai pakan menjadi awal mula dari permasalahan harga produksi. Meskipun Indonesia sudah berada pada tahap swasembada daging ayam dan telur, namun ketergantungan kepada bahan impor dalam proses pembibitan ayam masih sangat tinggi.
Fluktuasi nilai tukar mata uang turut memberikan andil kepada ketidakstabilan harga bibit, bahan baku, hingga pakan ternak. Belum lagi regulasi tata cara ekspor dari pemerintah yang kadang terkesan berubah-rubah, kadang membuat industri pembibitan ayam menjadi rentan terhadap harga produksi yang tinggi.
Permainan Spekulan
Hal ini diperparah dengan adanya campur tangan yang tak terlihat dari para spekulan yang memanfaatkan peluang saat harga ayam dan telur sedang mahal-mahalnya.
Meskipun pelaku industri ayam hanya dua jenis saja, namun ada juga jenis pelaku ketiga yaitu pedagang perantara (broker) yang lebih mendominasi harga tanpa harus beternak.
Terpuruknya peternak terjadi karena adanya mekanisme pasar yang tidak menentu. Di saat terjadi kelebihan persediaan ayam hidup (live stock), harga dengan mudah dimainkan oleh pemain besar.
Persoalannya berawal dari kesalahan pemerintah menghitung kebutuhan sumber bibit yang berimbas pada alokasi konsesi impor sumber bibit. Perusahaan yang mendapatkan kuota di luar batas kemampuan akan mampu memproduksi lebih.
Saat terjadi over produksi, perusahaan pembibitan pun enggan memenuhi syarat yang ditetapkan pemerintah, untuk mengafkir dini stok yang berlebihan. Akhirnya terjadilah over supply yang membuat pasar dibanjiri oleh live stock. Â
Jika tak segera dijual, maka kebutuhan pakan akan terus meningkat dan menimbulkan kerugian. Mau tidak mau, para peternak harus melepas ayam hidupnya di kandang dengan harga jauh dibawah pokok produksi. Sayangnya, kenyataan di pasar, para spekulan masih mampu menjual ayam tersebut dengan harga pasar yang cukup menguntungkan.
Problema Telur Infertil
Kelebihan suplai juga tidak hanya berpengaruh terhadap harga ayam. Telur pun juga mengalami hal yang sama. Adalah telur ayam infertil atau HE (Hatched Egg) di kalangan peternak. Telur HEÂ adalah produk tak terpakai, merupakan telur yang tidak menetas atau tidak ditetaskan dengan alasan biaya.
Telur HEÂ berwarna lebih putih dibandingkan telur ayam negeri. Sekilas bentuk dan rasa mirip dengan telur normal, dan tak ada perbedaan rasa ketika sudah dimasak atau dikonsumsi.Walaupun demikian, telur HE lebih cepat membusuk.
Harga telur ini sangatlah murah, biasanya bisa berbeda 50% dari harga telur normal. Karena itulah pemerintah dalam Permentan Nomor 32 Tahun 2017 tentang Penyediaan, Peredaran dan Pengawasan Ayam Ras dan Telur Konsumsi telah melarang telur ini untuk diperjualbelikan di pasar.
Izin edarnya hanya bisa dibagikan secara gratis untuk kepentingan CSR perusahaan. Namun tetap saja telur HE ini masih beredar di pasaran karena ulah oknum perusahaan breeding yang menyebabkan rusaknya harga telur di pasaran. Â
**
Di saat harga telur dan ayam tinggi, maka masyarakat akan mengurangi konsumsi. Di saat harga telur dan ayam rendah, maka produsen akan mengurangi produksi. Yang mana lebih dulu, telur atau ayam? Rasanya pertanyaan ini juga masih menggeluti kompleksitas persediaan dan permintaan telur dan ayam di Indonesia.
Semoga Bermanfaat!
Referensi:Â 1 2Â 3Â 4Â 5 6 7Â 8
SalamAngka
Rudy Gunawan, B.A., CPS
Numerolog Pertama di Indonesia -- versi Rekor MURI
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H