Akhir-akhir ini istilah thrifting menjadi trending topic. Tidak terkecuali di Kompasiana. Mulai dari tulisan teori tinggi hingga pengalaman pribadi mengisi topil Tren Pakaian Bekas.
Thrifting berasal dari kata thrive yang berarti berkembang atau maju. Sedangkan kata thrifty dapat diartikan sebagai "cara menggunakan uang atau barang lainnya secara baik dan efisien." Dalam kamus urban, Thrifting bermakna sebagai "kegiatan belanja untuk mendapatkan harga barang yang lebih murah dan barang yang tidak biasa seperti selera pasar saat ini."
Di Indonesia, thrifting identik dengan fesyen. Dipengaruhi oleh para influencer, toko daring yang menjual barang bekas dengan nama keren pre-loved menjadi sesuatu yang meluap bak air di Kali Ciliwir.
Walaupun kembali menjadi tren akhir-akhir ini, sebenarnya istilah ini sudah dikenal di dunia sejak satu abad sebelumnya. Tidak usah jauh-jauh, di Indonesia istilah pasar loak sudah ada sejak zaman kolonial dan itu adalah Thrifting.
Seperti biasa, sesuatu yang sedang nge-tren sering salah kaprah. Pada saat masih kuliah di Amerika Serikat (AS) tahun 1990an, penulis mengingat salah satu kegiatan yang paling dinantikan pada saat weekend, adalah berkunjung ke Salvation Army Store.
Yang penulis incar adalah buku fiksi. Meskipun sudah usang namun belum pernah dibaca. Harganya hanya 1 dollar AS, jauh lebih murah dibandingkan dengan novel baru di toko buku Barnes and Nobles yang berkisar lima hingga sepuluh kali lebih mahal.
Kawan-kawan lainnya biasanya melirik fesyen seperti jaket, sweater, atau hoody. Sementara bagi mahasiswa baru, peralatan rumah tangga biasanya menjadi sasaran.
Bukan hanya The Salvation Army Store saja, masih banyak tempat berbelanja besar dengan cabang di seluruh negeri yang menawarkan konsep yang sama. Hal ini tidak terlepas karena konsep Thrifting sudah menjadi bagian dari budaya AS. Yuk kita simak sejarahnya.
1760-1840: Revolusi Industri
Revolusi industry pada abad ke-19 pertama kali memperkenalkan konsep produksi massal pakaian. Hal ini mengubah pandangan dari masyarakat terhadap dunia fesyen. Pada masa itu, produksi pakaian besar-besaran membuat pakaian menjadi sangat murah dengan jenis yang variatif dari sebelumnya. Konsumsi masyarakat meningkat drastis dan pakaian kemudian menjadi sekali pakai buang (disposable).
Sontak sampah pakaian menjadi menumpuk dan biasanya langsung dibuang di pinggir jalan. Hal ini kemudian dimanfaatkan oleh kaum Duafa yang pada umumnya berasal dari para imigran.
1840-1920: Salvation Army
Pendirinya adalah seorang pendeta gereja metodis William Booth dan istrinya Catherine Mumford Booth dari London. Organisasi ini didirikan di London pada tahun 1878, dan hingga kini menjadi salah satu yang terbesar di dengan 126 cabang di seluruh dunia.
Kejadian akibat banyaknya barang disposable yang tidak seimbang dengan kekurangan dari kaum Duafa, membuat Salvation Army ini mulai mencari permasalahan sosial yang muncul. Mereka memfokuskan barang tak terpakai tersebut sebagai donasi dengan membentuk sebuah tempat penampungan yang bernama Salvage Brigade pada tahun 1897.
Warga yang merasa kelebihan bisa mengunjungi tempat penampungan ini untuk menyumbangkan barang layak pakainya, sementara warga yang kurang mampu berbondong-bondong datang ke Salvage Brigade untuk meminta pakaian. Bukan hanya itu Salvation Army juga menyediakan makanan dan layanan sosial lainnya pada tempatnya.
1920an: Depresi Hebat Amerika Serikat
Thrift Shop yang sudah mulai populer di kala itu, datang dengan memberikan alternatif. Mereka yang kurang mampu atau yang ingin berhemat memutuskan untuk membeli barang melalui thrift shop yang relative murah. Sementara mereka yang mampu, tak henti-hentinya menyuplai donasi barang layak pakai ke thrift shop.
Pada masa ini, thrift shop sudah hadir sebagai sebuah departemen store yang besar, meninggalkan konsep tempat penampungan yang diperkenalkan oleh Salvation Army. Goodwill Industries adalah salah satu thrift shop terbesar di Amerika kala itu yang menyimpan banyak ragam pakaian dan lebih dari seribu jenis peralatan rumah tangga layak pakai. Goodwill Industries berhasil menggantikan stigma barang bekas menjadi sebuah tren berbelanja sambil beramal.
1970an: Kebangkitan Bisnis Thrift Shop
Adalah Buffalo Exchange Emergence sebagai thrift shop pertama yang sukses membuka cabang hingga 49 gerai di seluruh Amerika. Konsep yang ditawarkan pada toko ini bukan hanya berdonasi saja, namun pelanggan juga bisa membeli, menjual, ataupun menukar barang yang mereka inginkan. Toko yang berpusat di Tucson, Arizona, AS, ini membuka cabang pertamanya di tahun 1974.
1990an: Kurt Cobain memperkenalkan konsep "Grunge Look"
Bersama sang istri Courtney Love, mereka selalu tampil dengan gaya fesyen yang identik dengan jins yang sobek (ripped jeans), baju flanel dengan layering yang cukup banyak, hingga kemeja atau baju yang sudah bolong-bolong. Â
Nah, sayangnya model baju yang mereka kenakan tidak bisa ditemukan pada toko-toko yang menjual baju baru. Para penggemar Kurt Cobain harus berburu barang yang mirip dengan pujaannya pada toko thrift shop. Istilahnya semakin sobek, semakin mirip mereka dengan Grunge Look.
2000an: Era Baru Thrifting
Yang membedakan thrifting di zaman sekarang adalah penggabungan antara bekas dan unik. Konsep bekas memang menjadi incaran karena harganya yang murah. Akan tetapi keunikan dari barang-barang jadul yang sudah tidak lagi diproduksi bisa membuat nilai thrifty naik, karena menjadi barang yang jarang ditemukan di pasar, alias tidak pasaran.
Perkembangan online shop juga turut membantu perkembangan pada era baru thrifting. Para influencer yang memiliki jutaan followers sudah tidak malu-malu lagi mengenakan pakaian bekas yang keren. Akses tanpa batas dunia maya, membuat perburuan thrifty menjadi sangat mendebarkan. Hal ini jelas menumbuhkan kebanggaan sendiri dari para milenial.
Bagaimana dengan Indonesia?
Jadi kalau melihat semangat yang terkandung dalam thrifting, maka sebenarnya ini bukanlah tren, tapi budaya. Sebabnya sejak zaman Belanda dulu, buyut kita sudah sering blusukan di pasar loak.
Akan tetapi, di dalam pasar loak banyak juga ditemukan pedagang yang menjual sayuran, daging, hingga kebutuhan sehari-hari. Pasar ini bisa berada di tempat lapang temporer atau lokasi permanen.
Hingga kini keberadaan pasar loak di Indonesia masih ada. Beberapa yang terkenal di antaranya adalah Pasar Tiwindu (Solo), Pasar Senen (Jakarta), Pasar Gedebage (Bandung), Pasar Gembong Tebasan (Surabaya) dan Pasar Loak Veteran (Makassar).
Penulis masih mengingat bagaimana engkong terlihat sangat senang jika berhasil mendapatkan barang yang diinginkan pada saat setiap kali berbelanja di pasar loak. Lebih tepatnya, bagaimana wajah emma kusut terlihat menyambut kegembiraan engkong.Â
Tidak bisa dipungkiri, kegiatan yang dilakukan oleh engkong zaman dulu masih merupakan aktivitas bagi banyak orang di Indonesia. Jadi para milenial yang bangga dengan istilah thrifting, jangan terlalu senang dulu, karena sebenarnya itu sudah dilakukan oleh kakek nenek kamu berpuluh-puluh tahun yang lampau. Nama bisa keren, thrifting, tapi bahasa Indonesianya sebenarnya adalah loakan.
SalamAngka
Rudy Gunawan, B.A., CPS
Numerolog Pertama di Indonesia -- versi Rekor MURI
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H