Mohon tunggu...
Acek Rudy
Acek Rudy Mohon Tunggu... Konsultan - Palu Gada

Entrepreneur, Certified Public Speaker, Blogger, Author, Numerologist. Mua-muanya Dah.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Entong Tolo, Bandit Sosial "Robin Hood" dari Zaman Kolonial

29 November 2020   11:49 Diperbarui: 29 November 2020   11:55 733
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi Entong Tolo (sumber; Youtube, kanal Cerita Rakyat Bekasi)

Perampokan adalah tindakan kriminal, namun jika motifnya adalah untuk membantu kaum duafa, maka pandangan masyarakat bisa saja berbeda.

Tidak terlalu banyak terungkap, di awal abad ke-20, ada gerakan yang sama dalam bentuk perlawanan warga pribumi atas ketidakadilan cukong tanah yang dibekengi oleh pemerintah kolonial Belanda.

Awal abad ke-20 ditandai dengan banyaknya tanah-tanah partikelir yang dimiliki oleh pemerintah kolonial dan para cukong Belanda di wilayah Batavia (Jakarta) dan Ommelanden (Tangerang).

Di Ommenlanden, petani harus menyetor hasil panennya kepada pemilik tanah. Di Batavia petani bekerja di perkebunan milik pemerintah kolonial. Semua ini berawal dari kebijakan Gubernur Jenderal Johannes van den Bosch pada tahun 1830. Perkebunan bertujuan menghasilkan tanaman ekspor untuk mengisi kas Belanda.  

Sontak kehidupan para petani berubah drastis. Sebagai pengelola partikelir, mereka diwajibkan untuk membayar pajak atas tanah yang disewa dengan harga yang tidak masuk akal. Bila tidak mampu membayar pajak, maka mereka akan dibawa ke pengadilan.

"Tidak segan-segan mereka dipenjarakan atau dibakar harta bendanya." Tulis Suhartono W. Pranoto dalam buku, "Jawa: Bandit-Bandit Pedesaan Studi Historis 1850-1942."

Situasi sulit ini menimbulkan perlawanan. Para petani tidak membalasnya secara frontal kepada pemilik tanah, melainkan dalam bentuk perbanditan secara bergerombolan atau sendirian.

Salah satu yang paling dikisahkan adalah Entong Tolo asal Pondok Gede, Batavia. Awalnya ia adalah seorang pedagang, namun mengubah profesi menjadi bandit pada saat berusia 50 tahun.

Aksi gerakannya ia lakukan pada tahun 1904 hingga 1910. Daerah operasinya adalah di sekitar daerah tanah partikelir Meester Cornelis di Bekasi, Sawangan (Depok), dan tiga wilayah lainnya di Ommelanden.

Di zaman itu, wilayah Ommilanden adalah wilayah yang tidak terjangkau oleh polisi dan kekuasaan kolonial pada saat itu. Sebabnya keamanan di tanah yang "tak bertuan itu," banyak mengandalkan kekuatan centeng (jagoan bayaran) milik cukong lokal.

Akan tetapi, kekuatan para centeng tidaklah sebanding dengan kelihaian Entong Tolo dan para anak buahnya. Beberapa kali pertempuran antara para centeng dimenangkan oleh Entong Tolo. Satu hal yang membuat para centeng takut kepada Entong Tolo, karena aksinya yang cenderung brutal.

Harta benda dan ternak yang dirampoknya pun beralih ke tangan Entong Tolo dan gengnya. Sebagian lagi ia bagikan kepada rakyat yang menderita akibat penindasan tuan tanah yang berkepanjangan. Atas aksinya ini, Entong Tolo kemudian tercatat sebagai Bandit Sosial.

Berada pada posisi puncak, aksi Entong Tolo berhasil menimbulkan rasa simpati dari para penduduk lokal. Meskipun hidup buron dan berpindah-pindah tempat, ia selalu mendapatkan pertolongan dari warga setempat, termasuk kepada kelima istri dan anak-anaknya.

"Penduduk ini seolah-olah membayar pajak untuk menghidupi Entong Tolo dan keluarganya," tulis J. Van Gich, sekretaris keresidenan Batavia, pada tahun 1910.

Entong Tolo bagaikan bos mafia yang ditakuti sekaligus dihormati. Ia berada di atas angin dengan mendapatkan perlindungan tak tertulis dari para warga sekitar.

Sebaliknya, pemerintah kolonial melihat Entong Tolo tidak lain sebagai perampok, pembuat onar, dan perusak keamanan. Mereka tak henti-hentinya mengerahkan polisi untuk memburunya.

Aksi mereka tidak membawa hasil. Tak seorang pun warga yang mau berbicara kepada polisi. Pun halnya dengan pejabat setempat dan polisi lokal yang bungkam seribu bahasa, karena ketakutan.

"Mereka takut akan mendapat balas dendam dari anak buah Entong Tolo." Demikian keterangan lanjutan dari J. van Gich.

Hingga akhirnya kejayaanya menemukan titik puncak. Pada November 1098, Entong Tolo tertangkap. Tidak ada keterangan mengenai kronologis penangkapan dari sang tokoh bandit sosial ini.

Sejarawan Suhartono dalam bukunya lanjut menuliskan mengenai proses yang terjadi setelah penangkapan. Ia menjelaskan kesulitan polisi dalam mengadili Entong Tolo. Tidak ada bukti kuat ia telah berbuat kriminal. Takada saksi yang dihadirkan yang bisa memberatkan hukumannya atas gangguan keamanan. Pengadilan hanya memiliki bukti keterlibatan anak buahnya saja.

Asisten Residen Meester Cornelis dan Residen Batavia kemudian mengadu ke Direktur Kehakiman, J. Reepkamer, yang kemudian meneruskan masalah ini ke Dewan Hindia. Hingga akhirnya keluarlah surat dari Dewan Hindia pada tahun 1910, yang menyarankan Entong Tolo dibuang ke luar Jawa.

"Residen Manado bersedia menerima Entong Tolo sebagai orang buangan di ibu kotanya," catat J. Reepkamer dalam laporannya, 10 November 1910. 

Residen juga siap menanggung biaya hidup Entong Tolo selama di perasingan. Biaya yang ditanggung adalah sebesar 10 florin sebulan, angka yang cukup besar bagi seorang buangan.

Ilustrasinya sebagai berikut: 1 florin setara dengan 7 kilogram gula. Dengan asumsi harga gula zaman sekarang berada pada kisaran 14.000 per kilo, maka total biaya per bulan yang dirupiahkan adalah sekitar 980 ribu rupiah.

Setelah memberikan tunjangan selama enam bulan, Residen Manado juga berkewajiban ntuk mencarikan pekerjaan buat Entong Tolo. Entah apa pekerjaan yang digeluti oleh Entong Tolo dan bagaimana aksinya sebagai mantan bandit selama terbuang di Manado, tidak ada keterangan terperinci.

Namun satu yang pasti, nama Entong Tolo masih dikisahkan dari mulut ke mulut. Turun temurun sebagai legenda rakyat bagi warga setempat atas kehebatan seorang Robin Hood dari Indonesia.

**

Kemunculan bandit di zaman kolonial bukan tanpa alasan. Petani telah kehilangan segalanya. Kebijakan Belanda mengubah banyak hal di pedesaan. Lalu petani kemudian menciptakan dunia tandingan. Dunia bawah tanah yang tidak terlihat.

"Dunia bawah tanah adalah dunia yang penuh misteri dan diliputi oleh kerahasiaan, yang semuanya serba tertutup dari luar jangkauannya," tulis sejarawan Suhartono.  

Dunia ini melegalkan tindakan perbanditan dengan mengizinkan kekerasan dan penjarahan harta benda. Semuanya dilakukan sebagai bentuk protes terhadap perubahan tatanan kehidupan di desa.

Para petani bahkan mampu menciptakan bentuk organisasi yang rapih atas aksi gelap mereka. Organisasinya sangat rahasia, sulit terjangkau, dan memiliki pembagian tugas serta pangkat sosial. Bedanya, mereka sangat tertutup dan hanya diketahui oleh para anggota saja.

Era gelap di zaman kolonial ini kemudian memunculkan banyak legenda setempat mengenai bandit sosial yang terkenal. Antara lain adalah Si Tjonat, Si Ronda, Si Gantang, Si Kesen, Si Oesep, dan Si Pitung.

    

Referensi: 1 2 3 

SalamAngka

Rudy Gunawan, B.A., CPS

Numerolog Pertama di Indonesia -- versi Rekor MURI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun