Residen juga siap menanggung biaya hidup Entong Tolo selama di perasingan. Biaya yang ditanggung adalah sebesar 10 florin sebulan, angka yang cukup besar bagi seorang buangan.
Ilustrasinya sebagai berikut: 1 florin setara dengan 7 kilogram gula. Dengan asumsi harga gula zaman sekarang berada pada kisaran 14.000 per kilo, maka total biaya per bulan yang dirupiahkan adalah sekitar 980 ribu rupiah.
Setelah memberikan tunjangan selama enam bulan, Residen Manado juga berkewajiban ntuk mencarikan pekerjaan buat Entong Tolo. Entah apa pekerjaan yang digeluti oleh Entong Tolo dan bagaimana aksinya sebagai mantan bandit selama terbuang di Manado, tidak ada keterangan terperinci.
Namun satu yang pasti, nama Entong Tolo masih dikisahkan dari mulut ke mulut. Turun temurun sebagai legenda rakyat bagi warga setempat atas kehebatan seorang Robin Hood dari Indonesia.
**
Kemunculan bandit di zaman kolonial bukan tanpa alasan. Petani telah kehilangan segalanya. Kebijakan Belanda mengubah banyak hal di pedesaan. Lalu petani kemudian menciptakan dunia tandingan. Dunia bawah tanah yang tidak terlihat.
"Dunia bawah tanah adalah dunia yang penuh misteri dan diliputi oleh kerahasiaan, yang semuanya serba tertutup dari luar jangkauannya," tulis sejarawan Suhartono. Â
Dunia ini melegalkan tindakan perbanditan dengan mengizinkan kekerasan dan penjarahan harta benda. Semuanya dilakukan sebagai bentuk protes terhadap perubahan tatanan kehidupan di desa.
Para petani bahkan mampu menciptakan bentuk organisasi yang rapih atas aksi gelap mereka. Organisasinya sangat rahasia, sulit terjangkau, dan memiliki pembagian tugas serta pangkat sosial. Bedanya, mereka sangat tertutup dan hanya diketahui oleh para anggota saja.
Era gelap di zaman kolonial ini kemudian memunculkan banyak legenda setempat mengenai bandit sosial yang terkenal. Antara lain adalah Si Tjonat, Si Ronda, Si Gantang, Si Kesen, Si Oesep, dan Si Pitung.
  Â