Mohon tunggu...
Acek Rudy
Acek Rudy Mohon Tunggu... Konsultan - Palu Gada

Entrepreneur, Certified Public Speaker, Blogger, Author, Numerologist. Mua-muanya Dah.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Mata yang Tidak Lagi Sipit Setelah Sumpah Pemuda Dikumandangkan

29 Oktober 2020   07:21 Diperbarui: 30 Oktober 2020   15:06 1081
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Mengapa Sumpah Pemuda bisa dikatakan sebagai titik tolak dari perjuangan di negeri ini? Karena peristiwa yang terjadi 17 tahun sebelum kemerdekaan Republik Indonesia ini adalah yang pertama meleburkan sikap Indonesia dari etnonasionals menjadi satu.

Pemerintah Hindia Belanda memisahkan rakyat menjadi tiga bagian, yaitu masyarakat Eropa, golongan timur asing, dan inlander atau pribumi. Tujuannya tidak lain untuk menjaga agar negeri ini tidak bersatu melawan pemerintah yang dianggap sahih pada kala itu.

Hal ini kemudian berdampak pada pergerakan politik di bumi Nusantara yang dilakoni berdasarkan etnis masing-masing. Misalkan pada tahun 1908 ketika Budi Utomo didirikan, keanggotaannya hanya khusus bagi orang jawa saja. Pergerakan ini kemudian diikuti oleh banyak organisasi daerah seperti Jong Sumatranen Bond, Jong Celebes, Jong Ambon, dan lain sebagainya.

Awal abad ke-20 adalah kemunculan gerakan politik berdasarkan etnosentris dan etnonasionalisme yang melihat perjuangan dengan sangat tersegrasi. Golongan timur asing seperti suku tionghoa, arab, dan indo (campuran) pun merasa tersingkir dan sulit untuk mengekspresikan sikap politiknya.

Sebagai contoh, Partai Nasionalis Indonesia (PNI), hanya menerima golongan pribumi, sementara etnis Tionghoa hanya bisa tergabung sebagai anggota luar biasa. Hal ini bahkan dimasukkan ke dalam AD/ART partai.  

Sebagai golongan timur asing, kalangan Tionghoa sendiri juga terbagi tiga golongan dalam pergerakan menuju cita-cita berbangsa. Ada yang berkiblat ke negeri leluhur, ada yang berpihak kepada pemerintah Hindia Belanda, dan ada yang menuju kepada Indonesia Merdeka.

Mendukung pergerakan kemerdekaan Indonesia pun dilakukan dengan cara apa saja. Termasuk Sie Kong Liang, pemilik rumah di Jalan Kramat Raya No. 106, Jakarta yang sekarang menjadi Museum Sumpah Pemuda.

Foto Sie Kon Liang dan Museum Sumpah Pemuda (sumber: tribunnews.com)
Foto Sie Kon Liang dan Museum Sumpah Pemuda (sumber: tribunnews.com)
Awalnya, rumah tersebut adalah sebuah indekos bagi para pelajar Stovia yang bebrapa di antaranya kemudian dikenal sebagai tokoh bangsa, seperti Amir Sjarifuddin, Muhammad Yamin, Abu Hanifah, dan masih banyak lagi. Di rumah yang juga menjadi markas pergerakan organisasi pergerakan pemuda ini juga memunculkan Kongres Pemuda II yang juga dikenal sebagai lahirnya Sumpah Pemuda.   

Selain Sie Kong Liong, ada juga pemuda Tionghoa lainnya juga hadir dalam Kongres Pemuda II ini. Mereka adalah Kwee Thiam Hong anggota Jong Sumatranen Bond, dan sahabatnya Oey Kay Siang, John Liauw Tjoan Hok, dan Tjio Djin Kwie, sebagai anggota kepanduan, serta Djohan Mohammad Tjai (Jong Islametan Bond).  

Selain itu, lagu Indonesia Raya yang pertama kali dikumandangkan dalam Kongres Pemuda II, juga memiliki kisah tersendiri bagi penciptanya, WR. Supratman.

Lagu yang dilarang oleh pemerintah Kolonial peredarannya pada saat itu justru dimuat pertama kali di Weekblad Sin Po, sebuah suratkabar mingguan berbahasa Melayu-Tionghoa. Lagu dan notasinya muncul pada edisi N0. 293 tanggal 10 November 1928.

Sikap ini tidak terlepas dari hubungan yang baik antara pemimpin redaksi Sin Po, Kwee Kek Beng dengan para pemimpin pergerakan Indonesia. Selain memuat notasi lagu beberapa kali, WR. Supratman juga meminta Kwee untuk mendistribusikannya dalam bentuk patritur lepas.

Harian Sin Po (sumber: tirto.id)
Harian Sin Po (sumber: tirto.id)
Selain menjadi yang pertama kali memuat lagu Indoneisa Raya, suratkbar Sin Po juga merupakan koran yang pertama pada masa kolonial yang menggunakan kata "Indonesia" dari istilah "Nederlandsch-Indie" serta menghapus istilah "Inlander," dari semua penerbitannya.

Tak ketinggalan juga seorang pengusaha Tionghoa asal Tulungagung, Jawa Timur yang memuat utuh syair lagu Indonesia Raya dalam buku peringatan lima tahun perusahaan kretek Moro Seneng miliknya.

Foto Pimred Sin Po, Kwee Kek Beng (sumber: mistar.id)
Foto Pimred Sin Po, Kwee Kek Beng (sumber: mistar.id)
Piringan hitam lagu Indonesia Raya kemudian menjadi primadona di kalangan terpelajar diproduksi oleh sahabatnya, Yo Kim Tjan, pemilik orchestra Populair, setelah sebelumnya ditolak oleh berbagai perusaah rekaman di kala itu.

Di rumah Yo Kim Tjan yang terletak di jalan Gunung Sahari no. 37, Jakarta, WR. Supratman dibantu oleh seorang teknisi dari Jerman merekam dua versi lagu tersebut. Yang pertama adalah versi asli dimana Supratman menyanyikannya sambil bermain biola, dan versi yang kedua adalah versi keroncong yang banyak digandrungi saat itu, agar bisa menyebar luas sebagai hiburan.

Foto Yo Kim Tjang (sumber: kompasiana.com)
Foto Yo Kim Tjang (sumber: kompasiana.com)
Sayangnya kopi asli dari piringan hitam ini sudah raib entah kemana, setelah pada tahun 1957, Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan saat itu, Kusbini meminta Yo Kim Tjan menyerahkan master piringan hitam lagu Indonesia Raya yang dinyanyikan oleh WR. Supratman.

Sebelumnya Pada tahun 1953, Yo Kim Tjan mengirim surat ke Radio Republik Indonesia (RRI) untuk memperbanyak kopi lagu tersebut, namun ditolak dengan alasan lagu Indonesia Raya telah menjadi lagu Nasional.

Adapun versi keroncongnya masih disimpan oleh Kartika, putri dari Yo Kim Tjan, hingga ia menghebuskan nafas terakhirnya. Sekarang, piringan tersebut tersimpan di Museum Sumpah Pemuda, sejak November 2014 silam.

Wasana Kata

Kongres Pemuda II dan kebhinekaan sebagai rumusan pentingnya adalah tonggak pergerakan bangsa dalam merebut kemerdekaan Indonesia. Semangat kebangsaan ini pula yang melahirkan Kemerdekaan Indonesia pada tanggal 17 Agustus 1945.  

Tujuh Puluh Lima Tahun sudah Indonesia merdeka, dan 92 tahun Indonesia mengenal nasionalisme dan kebangsaan yang diusung melalui deklarasi Sumpah Pemuda. Seluruh sekat yang didobrak melalui ikrar "bertanah air satu, berbahasa satu, dan berbangsa satu," tidaklah dilalui melalui jalan yang mudah.

Sangat disayangkan, jika sekarang para pewaris bangsa masih tidak melihat hal ini sebagai sesuatu yang istimewa. Bukannya menilai penting serta menghormati pandangan para pendiri bangsa. Alih-alih masih banyak yang mempermasalahkan perbedaan suku, agama, dan ras dalam kesehariannya. Warisan kolonialisme Belanda bernama sekat rasial dalam bentuk perlakuan diskriminatif serta memandang kecil agama dan keyakinan masih marak terjadi di sekitar kita.

Sumpah Pemuda menjadi momen pertama dalam sejarah bangsa yang mampu menumbuhkan semangat nasionalisme kesukuan menjadi kesatuan kebangsaan. Pada peristiwa ini, sikap etnosentris perlahan mampu dikikis, untuk sebuah visi yang lebih besar, yaitu Kebhinekaan Indonesia.

Melalui perayaan Sumpah Pemuda yang ke-92, marilah kita tumbuhkan semangat bangsa tanpa melihat adanya perbedaan di antara sesama. Jangan sampai bebas dari belenggu kolonialisme hanya akan menimbulkan semangat penjajahan baru dari dalam diri kita sendiri.

Referensi: 1 2 3 4

SalamAngka

Rudy Gunawan, B.A., CPS

Numerolog Pertama di Indonesia -- versi Rekor MURI

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun