Susah untuk menerima fakta bahwa di zaman sekarang, jodoh masih ditentukan oleh orangtua. Seribu satu asumsi berkumandang, atas nama gengsi dan asasi, perjodohan oleh keluarga sudah tidak pantas untuk disandang.
Perkawinan melalui proses perjodohan adalah bagian dari masyarakat kuno. Memiliki sejarah yang cukup panjang, praktik ini berlangsung sebagai maksud untuk menjaga keutuhan status sosial.
Hingga kini, ada beberapa negara yang masih menganggap proses perjodohan adalah hal yang normal. Khususnya di negara-negara dunia ketiga seperti India, Pakistan, dan belahan benua Afrika.
Praktik semacam ini sudah sangat jarang terjadi di negara maju. Namun, siapa sangka di negara modern seperti Jepang, tradisi perjodohan oleh keluarga masih bebas bergerak liar.
Mengenal Omiai, Praktik Perjodohan Jepang Zaman Kuno
Adalah Omiai alias praktik perjodohan tradisional di Jepang. Secara harafiah, Omiai berarti "bertemu dan bertatap muka". Akan tetapi peranan biro jodoh yang menangani Omiai ini jauh lebih besar bagi masyarakat Jepang dari hanya sekedar bertatap muka saja.
Sekitar 30 hingga 40 persen orangtua di Jepang pernah melirik Omiai sebagai ajang untuk mencari jodoh buat anak-anaknya, dan sekitar 5 hingga 6 persen di antaranya berhasil mendapatkan jodoh melalui cara tradisional ini. Hal ini disebabkan oleh faktor budaya Jepang dalam melihat sebuah pernikahan.
Usia yang wajar untuk sebuah kehidupan rumah tangga bagi lelaki adalah 30 tahun, sementara wanita adalah 25 tahun. Wanita yang belum menikah di usia 25 tahun menyandang stigma negatif. Istilah "Kue Natal" yang berarti "Tidak laku setelah 25" menyiratkan hal ini.
Selain itu, konon perusahaan Jepang lebih memilih pria yang sudah menikah untuk bekerja dibandingkan mereka yang masih lajang. Alasannya karena pria yang sudah berkeluarga memiliki tanggung jawab yang besar, sehingga cenderung untuk bekerja lebih serius.
Tradisi Omiai sebenarnya dimulai dari perjodohan yang diorganisir oleh pihak keluarga. Kalaupun ada pihak ketiga atau mak comblang, peranannya hanyalah memperkenalkan dua keluarga yang tidak saling mengenal.
Namun Omiai modern adalah sebuah biro professional yang memahami apa yang diinginkan oleh para klien mereka. Oleh sebab itu, Omiai tidak boleh hanya diikuti oleh muda-mudi saja. Keluarga, dalam hal ini ibu, memiliki peran yang sangat besar, karena Omiai masih memegang tradisi yang kuat bahwa pernikahan di Jepang adalah merupakan perkawinan antar dua keluarga.
Memulai Tradisi Omiai
Hal pertama yang harus dilakukan adalah menjadi member melalui pendaftaran dan melengkapi berbagai persayaratan administratif yang penting. Di saat yang sama, klien juga bisa memeriksa file-file dari pasangan yang sekiranya menarik di hati.
Setelah mendapatkan pasangan yang cocok, pihak biro kemudian menghubungi pihak yang ditaksir. Pertemuan pertama kemudian disusun dengan melibatkan keluarga lengkap yang terdiri dari kedua orangtua dan anaknya.
Tidak banyak hal yang bisa digali dari pertemuan pertama. Kedua belah pihak biasanya hanya saling menjajaki dan mengisi pertemuan dengan perkenalan awal dan obrolan ringan.
Jika ada ketertarikan, kedua belah pihak kemudian menyusun pertemuan kedua dan ketiga. Pihak biro akan mengatur waktu pertemuan selanjutnya yang langsung masuk ke dalam pembahasan yang lebih serius, yaitu pernikahan!
Biasanya periode tunggu untuk tanggal pernikahan juga tidak terlalu lama. Durasinya adalah beberapa minggu atau bulan setelah pertemuan pertama. Ternyata orang Jepang memang tidak suka bertele-tele. Komitmen untuk mendapatkan pasangan melalui praktik Omiai sudah ditekadkan sejak awal.
Akan tetapi, alasan yang paling mendasar bukanlah masalah efisiensi, namun biaya. Iya, ternyata menggunakan jasa biro ini sangat mahal, sehingga lebih cepat menggelar proses pernikahan lebih baik, agar tidak ada uang yang terbuang percuma.
Apakah Akan Berakhir Bahagia?
Tentu bagi orang lain yang tidak memahami tradisi ini akan bertanya, apakah proses yang sedemikian cepatnya ini dapat menciptakan hubungan yang langgeng?  Nah, ternyata statistik mengatakan bahwa mereka yang menikah melalui praktik Omiai ini memiliki tingkat perceraian yang lebih kecil dibandingkan dengan mereka yang berpacaran dengan cinta sejatinya.
Apakah hal ini terkait dengan kultur orang Jepang yang menyatakan bahwa cinta adalah sesuatu yang semu, sehingga kepentingan ekonomi dan sosial jauh melebihi perasaan? Atau apakah karena budaya patriarki masih sangat kuat di sana, hingga wanita yang "salah pilih" tidak akan bisa melakukan banyak hal?
Tidak ada yang tahu, yang pasti bahwa praktik Omiai masih bertahan di Jepang dengan caranya sendiri, menunjukkan bahwa biro jodoh konvensional masih sangat tinggi minatnya dibandingkan dengan aplikasi online semacam Tinder.
Selain itu, jangan lupa bahwa meskipun tergolong negara maju, Jepang masih termasuk kolot dalam mematuhi tradisi lokal dan kepercayaan kuno. Bisa saja Omiai adalah sebuah ajang perjodohan sakral yang juga melibatkan para Dewa-Dewi penghuni Nirwana.Â
SalamAngka
Rudy Gunawan, B.A., CPS
Numerolog Pertama di Indonesia -- versi Rekor MURI
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H