Salah satu alasan mengepa aplikasi pencari jodoh itu disenangi? Karena sangat membantu diri kita untuk menemukan pasangan tanpa perlu menghabiskan uang bensin.
Selain itu, karena banyaknya pengguna di sini, maka kebebasan memilih-milih tentu menjadi sebuah kesenangan tersendiri. Jika tertarik, bisa mulai kopi darat. Jalan berduaan sekali dua kali, sebelum memutuskan hubungan yang lebih serius lagi.
Lha, apa bedanya dengan perjodohan keluarga? Sama-sama memudahkan, sama-sama menghemat tenaga, lagipula tidak ada juga paksaan untuk langsung menikah bukan?
Bahkan perjodohan keluarga memiliki fitur yang lebih canggih lagi, yaitu aplikasi untuk mengecek bibit bebet bobot. Sebuah kemewahan yang tidak bisa dideteksi oleh Tinder.
Mencegah Hubungan yang Tidak Pasti
Sepanjang tidak ada paksaan untuk segera menikah, maka masih banyak waktu yang tersisa untuk saling mengenal dan memahami.
Namun jika semuanya telah menjadi, maka melangkah ke pelaminan hanyalah sebuah kedipan mata. Tidak perlu khwatir seperti si Anu dan si Ani yang masih belum jelas statusnya, meskipun sudah pacaran belasan tahun lamanya.
Lagipula campur tangan kedua keluarga yang merestui biasanya akan lancar-lancar saja. Calon pengantin tidak perlu terlalu repot untuk memikirkan hal-hal ribet urusan pengantin. Pokoknya sisa pasang badan dan beraksi di malam pertama.
Belajar Menerima Kenyataan
Rintangan terbesar dalam perjodohan keluarga adalah masalah stigma. Budaya modern telah merasuki pikiran bahwa perjodohan orangtua adalah sebuah pelanggaran HAM berat.
Rasa malu kepada teman, rasa khwatir terhadap perasaan, hingga rasa takut akan kegagalan cinta, hanya akan membuat daftar penolakan yang belum tentu benar.
Padahal perjodohan bukanlah hal yang memalukan. Banyak hal yang bisa dieksplorasi jika diri tenang dan mau menerima sisi baik dari perjodohan.
Ingatlah bahwa cinta adalah urusan rumit. Kadang seseorang harus menerima kenyataan bahwa orang yang dicintai bukanlah pasangan hidupnya. Kadang juga justru yang dibenci akan bersama dirinya hingga akhir.