Mohon tunggu...
Acek Rudy
Acek Rudy Mohon Tunggu... Konsultan - Palu Gada

Entrepreneur, Certified Public Speaker, Blogger, Author, Numerologist. Mua-muanya Dah.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Mengapa Orang Baik Cepat Mati dan Orang Jahat Berusia Panjang?

10 Oktober 2020   20:03 Diperbarui: 24 Mei 2021   09:19 22449
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Orang baik lebih cepat mati dan orang jahat hidup lama merupakan salah satu dari sekian banyak mitos atau misteri kematian.

Seiring kita mendengar kabar duka cita atas meninggalnya saudara, teman, atau kerabat, maka sebuah pernyataan yang cukup sering terdengar adalah, "Astagafirullah, kok orang baik cepat dipanggil Tuhan, ya?"

Pemikiran seperti ini juga cukup sering muncul jika kita geram terhadap seseorang yang sangat kejam. "Kok gak mati-mati sih itu, orang? Memang ya, orang jahat lama matinya".

Para pemuka agama mengamini hal ini dengan mengatakan bahwa; "Adapun maksud dan tujuan Tuhan memanggil mereka yang baik, agar dapat memberi contoh kesolehan kepada para pengikutnya".

Ada pula yang mengatakan bahwa; "Tuhan telah memanggilnya lebih cepat, agar ia dapat hidup nyaman di sisi Nya, sehingga tidak perlu lagi berada dalam penderitaan duniawi".

Baca juga: Asumsi Orang Baik dan Orang Jahat yang Sering Terjadi di Masyarakat

Apakah memang benar, orang baik lebih cepat pergi dari dunia ini?

Hingga sekarang, kematian memang masih merupakan misteri yang tak terpecahkan. Mengenai waktu, bagaimana, hingga kemanakah kita akan pergi setelah kematian, adalah rahasia Tuhan.

Bukan hanya itu saja, meskipun merupakan sebuah keniscayaan, kematian juga adalah suatu hal yang paling tabu untuk dibicarakan.

Sebuah hasil survei menyatakan bahwa kita ternyata lebih takut kehilangan orang yang kita sayangi, daripada kematian itu sendiri.

Dari survei yang sama, juga diambil kesimpulan bahwa seseorang lebih khwatir terhadap proses kehilangan dan kesepian akibat kematian, dibandingkan dengan esensi dari kematian itu sendiri.

Oleh sebab itu, seseorang yang baru saja dikabarkan meninggal, akan membuat orang-orang terdekatnya merasa kehilangan.

Rasa kehilangan ini kemudian mengingatkan diri kita terhadap hal-hal baik yang telah dilakukan oleh mendiang selama ia masih hidup.

Terlepas dari seluruh hal-hal buruk yang telah dilakukan oleh mendiang, rasa kehilangan ini akan menjadi sebuah proses memaafkan yang luar biasa.

Mereka yang baru saja meninggal, secara tiba-tiba akan kehilangan seluruh dosanya. Yang tersisa hanyalah kenangan indah yang pernah dilalui bersama.

Dengan demikian, pada dasarnya, mereka yang meninggal adalah orang yang baik, terlepas dari segala hal buruk yang telah dilakukan.

Selain itu, bukan hanya orang yang baik saja yang lebih cepat mati, namun juga bagi mereka yang memiliki popularitas yang tinggi.  

Paling tidak, kesimpulan ini berasal dari hasil analisis obrituari dari surat kabar di Amerika Serikat.

Fakta yang disampaikan, adalah para pekerja hiburan seperti aktor, musisi, dan juga olahragawan ditemukan mati lebih muda dibandingkan dengan mereka yang sukses di karir yang lain.

Meskipun hasil penelitian tidak diakui oleh para ilmuwan, karena tidak menyimpulkan hasil apa-apa, namun menarik untuk melihat harga dari sebuah ketenaran.

Professor Richard Epstein yang mewakili para peneliti mengatakan bahwa kanker, dan tumor paru-paru menjadi penyebab utama dari kematian, meskipun dalam beberapa kasus, aksi bunuh diri juga sering meliputi.  

Akan tetapi, menurut Epstein, ada faktor lain lagi, yaitu ketenaran dapat menimbulkan tekanan psikologis yang disebabkan dari tuntutan pekerjaan.  

Baca juga: Orang Baik Itu Menderita?

Sampai disini, kita dapat menyimpulkan dua hal.

Pertama, pada dasarnya manusia lebih takut kehilangan orang yang dikasihi, daripada kehilangan nyawa. Sehingga setiap berita kematian yang tidak menyenangkan selalu dibarengi dengan rasa penyesalan.

Perasaan inilah yang kemudian menimbulkan sebuah kesimpulan bahwa "orang baik cepat mati".

Kedua, pada dasarnya manusia lebih takut menanggung beban hidup, daripada kematian itu sendiri. Mereka yang mengambil aksi bunuh diri, pada umumnya dilandasi rasa malu dan frustasi terhadap dirinya sendiri.

Perasaan ini membuat mereka tidak mau dicap sebagai "orang jahat yang pantas hidup lebih lama".

Pertanyaan berikutnya, bagaimana persepsi "orang baik" dan "orang jahat" di mata masyarakat?

Faktanya adalah persepsi. Kehilangan seseorang yang baik atau jahat, adalah sebuah kepentingan pribadi dalam relasinya terhadap sang mendiang.

Kematian adalah sebuah akhir. Bagi 'orang baik', tentu hal ini adalah sebuah kehilangan besar dari yang mencintainya. Akan tetapi, bagi 'orang jahat', adalah sebuah kemenangan bagi yang membencinya.

Untuk menjelaskan ini, ada sebuah fenomena menarik yang ditemukan dari para arkeolog. 

Pernahkah kamu melihat gambar, foto, atau mendatangi secara langsung patung-patung Mesir Kuno yang mengalami kerusakan pada hidung?

Foto Patung Mesir Kuno yang kehilangan hidung (sumber: nationalgeographic.grid.id)
Foto Patung Mesir Kuno yang kehilangan hidung (sumber: nationalgeographic.grid.id)
Berdasarkan penelitian, hal ini tidak terjadi secara alami, melainkan dirusak dengan sengaja. Menurut Edward Bleiberg, seorang kurator galeri Mesir, tindakan ini dilakukan karena orang Mesir Kuno meyakini patung-patung itu memiliki kekuatan untuk hidup.

Orang-orang Mesir Kuno memercayai bahwa segala sesuatu yang berbentuk patung, baik berupa dewa atau orang yang sudah mati, adalah merupakan gerbang bagi mereka ke dunia manusia.

Patung adalah bentuk konsepsi bagi para dewa atau jiwa almarhum untuk menemukan kekuatan mereka di dunia ini. Dengan demikian, penghancuran patung memiliki nilai menghentikan kehidupan dari jiwa yang masih berkelana.

Pikiran sederhana manusiawi mengatakan, jika ingin agar jiwa tersebut tidak bisa menerima hadiah, maka hancurkanlah tangannya. Jika ingin agar ia tidak bisa mendengarkan, maka hancurkanlah telinganya.

Dan jika tidak ingin ia hidup kembali, maka putuskanlah aliran nafas melalui hidungnya. Dengan kata lain, itu adalah tindakan "membunuh" jiwa dalam patung.

Merusak hidung patung kuno ini tak hanya terjadi pada patung Mesir Kuno tapi juga ada dalam sejarah Yunani, Roma dan Persia.

Lantas siapa yang 'membunuhnya'? Berdasarkan teori dari para peneliti, kemungkinan adalah musuh atau pengacau yang memiliki aksi yang bertentangan dengan kehadiran sang patung, atau para pencuri makam yang tidak mau 'dihantui'.

Baca juga: Orang Kaya Lebih Mudah Menjadi Orang Baik (?)

Apa maknanya?

Patung dewa atau raja yang dibangun oleh manusia, tentu memiliki harapan agar ia tetap bisa 'hidup' di dunia untuk melindungi, sekaligus mewakili kepentingan dari yang mencintainya.

Namun bagi para musuhnya, mereka tidak lain sebagai seorang yang 'jahat' yang tidak pantas hidup berlama-lama di dunia ini.

Nah, kematian tidak dilihat dari seberapa baik atau jahat seseorang, tapi seberapa besar kepentingan kamu terhadap mereka yang telah tiada.

Tidak heran kemudian kita sering melihat "orang jahat" yang kemudian menjadi "orang baik" pada saat ia meninggal. Siapakah mereka? Silahkan bertanya kepada lubuk hati anda yang paling dalam.

Sumber: 1 2 3

SalamAngka

Rudy Gunawan, B.A., CPS

Numerolog Pertama di Indonesia -- versi Rekor MURI

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun