Mohon tunggu...
Acek Rudy
Acek Rudy Mohon Tunggu... Konsultan - Palu Gada

Entrepreneur, Certified Public Speaker, Blogger, Author, Numerologist. Mua-muanya Dah.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Ritual Adat yang Terasa Perlu di Tengah Gempuran Virus Corona

10 Oktober 2020   06:10 Diperbarui: 10 Oktober 2020   07:15 368
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi Ritual Adat (sumber: bbc.com)

Tak dapat dipungkiri, virus corona yang sudah menjadi pageblug, masih menyisakan banyak misteri.

Mengenai asal-usul yang misterius, cara penularan, hingga proses penyembuhan, semuanya masih menjadi berita yang simpang-siur.

Masyarakat lokal memiliki kearifan lokal terhadap sebuah peristiwa. Fenonema alam yang sudah terasa 'biasa' saja, seperti gerhana bulan, masih diyakini sebagai bagian dari peristiwa mistis.

Kothekan atau tetabuhan masih ramai dilakukan di beberapa daerah di Pulau Jawa. Tujuannya untuk mengusir Raksasa Batara Kala yang akan menelan bulan.

Tidak heran jika pandemi Covid-19 ini kemudian menimbulkan beberapa cerita baru, yang juga berhubungan dengan kepercayaan leluhur terhadap peristiwa pageblug.

Ting Mong Pengusir Virus Corona

Bentuknya adalah orang-orangan sawah yang lazim ditemukan di Indonesia untuk mengusir burung. Namun orang-orangan sawah di Kamboja ini, justru diyakini dapat mengusir virus corona.

Gambar Ting Mong (sumber: youtube.com)
Gambar Ting Mong (sumber: youtube.com)
Di saat seluruh penduduk dunia menaruh harapan besar akan hadirnya vaksin, warga di Kamboja sepertinya sudah terlebih dahulu menggantungkan nasibnya kepada keberadaan Ting Mong.

Kepercayaan animisme di negeri Khmer Merah ini, meyakini bahwa Ting Mong adalah sebuah media untuk mengusir segala energi negatif, dimana kemunculan corona adalah bagian darinya.

Sempat hilang untuk beberapa saat, kini keberadaan Ting Mong mulai ramai terlihat. Di daerah pinggiran kota Phnom Penh saja, ada lebih dari 300 Ting Mong. Bentuk dan ukurannya beragam, menghiasi pagar rumah dan pinggir jalan.

Ting Mong sendiri sudah merupakan budaya lokal. Konon disebutkan bahwa semakin besar ukuran Ting Mong, maka semakin kuat ia dalam menahan virus corona.

Nah lucunya, hingga saat ini Kamboja masih termasuk negara yang memiliki persebaran virus corona yang rendah dibandingkan negara Asia Tenggara lainnya.

Gejog di Pacitan

Lain di Kamboja, lain lagi di Pacitan. Tepatnya di Desa Jetak, Kecamatan Tulakan, mendadak jadi pusat perhatian, karena tradisi lama kembali dilakukan warganya saat corona melanda dunia.

Masrakat setempat menyebutnya Gejog. Sebuah ritual tolak bala yang diyakini dapat mengusir marabahaya.

Marjuni, Kepala Desa Jetak mengatakan kepada sumber, bahwa tradisi ini sudah lama dilakukan oleh orang-orang tua dulu, jika pageblug datang menyerang.

Ritualnya hanya membunyikan kentongan secara beramai-ramai oleh beberapa keluarga dari rumah masing-masing, dan berlangsung selama 20 menit menjelang maghrib dan baru berhenti menjelang azan maghrib.

Lebih lanjut menurut sang Kepala Desa, tradisi ini sebenarnya lanjutan dari kejadian lalu pada saat wabah kolera datang menyerang. Dahsyatnya serangan penyakit itu membuat masyarakat dan pemerintah desa kewalahan menghadapinya.

"Akhirnya disepakati mengadakan tradisi Gejog itu", ujarnya.

Munculnya tradisi ini tak lepas dari kepercayaan yang dianut warga setempat. Konon, serangan wabah berkait erat dengan gangguan mahluk tak kasat mata, yang muncul saat petang menjelang maghrib.

Meski susah diterima dengan nalar sehat, namun kesepakatan ini sudah dilakukan sesuai dengan kearifan lokal. Minimal dengan tradisi ini, memberi sebuah pesan kepada warga akan bahaya virus corona masih ada di sekitar kita.

Masyarakat Adat Dayak Kaharingan Meminta Bantuan Leluhur

Ritual Manggatang Sahur Lewu adalah sebuah ritual minta pertolongan dan perlindungan dari Patahu, atau para leluhur penjaga kampung. Selain itu juga ada Ritual Mamapas Lewu, atau membersihkan kampung dari pengaruh jahat atau hal-hal buruk.

Pada bulan Maret tahun 2020 ini, ritual yang sudah lama tidak dilakukan ini, kembali digelar. Tujuannya apalagi kalau bukan mengusir wabah corona dari kampung Suku Dayak Kaharingan di Tumbang Malahoi, Kalimantan Tengah.

Foto sesajen pada Ritual Adat Suku Dayak Kaharingan (sumber: bbc.com)
Foto sesajen pada Ritual Adat Suku Dayak Kaharingan (sumber: bbc.com)

Ritual Tolak Bala Masyarakat Jawa

Di Solo, Jawa Tengah, ritual tolak bala juga dilakukan untuk mengusir wabah corona yang sedang melanda. Selain memasak sayur lodeh, ada juga yang memasang sesaji gantungan daun alang-alang, hingga cukur gundul.

Masyarakat Jawa mempercayai bahwa pandemi virus corona sebagai pagebluk, atau istilah orang Jawa terhadap wabah penyakit.

Ritual tolak bala yang dilakukan, tidak lain sebagai upaya untuk menjaga tradisi leluhur, yang merupakan bagian dari kearifan lokal. Sekali lagi, meskipun kelihatan tidak masuk akal, namun tetap saja dianggap perlu untuk dilakukan.

Bahkan Walikota Solo, FX Hadi Rudyatmo pun melakukan ritual ini dengan mencukur gundul rambutnya bersama para pejabat pemerintah kota Solo yang lain.

Baginya, cukur gundul bersama itu menurut kepercayaan orang Jawa sebagai salah satu cara menolak bala agar Solo terbebas dari wabah virus corona Covid-19.

"Gundul itu kan simbol untuk membersihkan segala sesuatu kotoran. Kalau digundul itu cara membersihkannya kan lebih mudah," jelasnya.

Foto Ritual Gundul yang dilakukan Walikota Solo, FX. Hadi Rudyatmo (sumber: bbc.com)
Foto Ritual Gundul yang dilakukan Walikota Solo, FX. Hadi Rudyatmo (sumber: bbc.com)

Mengapa Ritual Adat Dibutuhkan untuk Mengusir Corona?

Pakar antropologi, Yando Zakaria, memandang adat dan ritual adalah alat untuk menjaga keseimbangan. Serangan pandemi Covid-19 dapat dilihat sebagai terjadinya kepincangan antara hubungan manusia dan alam.

Memori kolektif akan wabah yang terjadi sebelumnya, membuat masyarakat adat lebih mawas diri dalam menjaga keseimbangan dengan alam dan sesama manusia.

Oleh karena itu, bukanlah hal yang aneh, jika ritual adat dilakukan, sebagai makna keseimbangan melalui pikiran. Logika tidak lagi dibutuhkan disini, karena kearifan lokal hanya memerlukan perenungan, bukanlah teknologi canggih.

Referensi: 1 2 3

SalamAngka

Rudy Gunawan, B.A., CPS

Numerolog Pertama di Indonesia -- versi Rekor MURI

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun