Mohon tunggu...
Acek Rudy
Acek Rudy Mohon Tunggu... Konsultan - Palu Gada

Entrepreneur, Certified Public Speaker, Blogger, Author, Numerologist. Mua-muanya Dah.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Festival Kue Bulan, Tradisi yang Berasal dari Pemberontakan dan Pergeseran Makna bagi Para Jomlo

30 September 2020   06:07 Diperbarui: 30 September 2020   06:34 857
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Foto Kue Bulan (sumber: grid.id)

Pernah lihat kue berbentuk bulat dengan aneka warna dan berbagai jenis ukuran? Akhir-akhir ini banyak beredar di medsos, dan kebanyakan untuk jualan.

Begitu juga bagi yang sempat jalan-jalan ke mal, kue ini banyak terpajang pada toko-toko kue, maupun pada restoran-restoran yang menjual makanan Chinese.

Namanya adalah kue bulan (moon cake), hanya tersedia setahun sekali, tepatnya menjelang tanggal 15 bulan ke-8, yang jatuh pada tanggal 1 Oktober di tahun 2020 ini.

Pada tanggal yang sama, masyarakat Tionghoa merayakan Festival Musim Gugur atau yang lebih dikenal dengan nama Festival Kue Bulan. Mungkin belum banyak yang mengetahui bahwa festival ini adalah merupakan perayaan ke-2 terbesar setelah Imlek.

Cobalah tengok ke atas langit pada tanggal ini, bulan purnama akan bercahaya dengan sangat terang, bersinar dengan warna kemerahan. Bukan sulap, bukan sihir, masyarakat Tionghoa dulu telah mampu mendeteksi waktu dimana posisi bulan paling dekat dengan bumi.

Hal ini diisyaratkan sebagai tanda bersatunya matahari dan bumi, layaknya perpaduan pria dan wanita dalam filosofi Yin-Yang.

Asal-usul Festival Musim Gugur.

Sejak dulu, pemujaan masyarakat Tiongkok kuno terhadap bulan sudah sangat populer. Para pujangga merangkai puisi atas kekagumannya, para pemuka melakukan ritual persembahan, dan para cendekiawan menciptakan legenda dan hikayat untuk mengenang.

Pada masa Dinasti Song Utara (960-1127 SM), Festival Musim Gugur pertama kali ditetapkan secara resmi. Sejak saat itu ritual persembahan kepada bulan kemudian menjadi tradisi.

Seiring waktu berjalan, pada masa pemerintahan dinasti-dinasti selanjutnya, tradisi ini tidak saja masih bertahan, bahkan cenderung dirayakan dengan lebih besar dan meriah lagi, seperti mengadakan pertunjukan barong api dan menyalakan api pagoda.

Di China, festival ini ditetapkan sebagai hari libur nasional, dan masih dirayakan oleh masyarakat keturunan Tionghoa di seluruh penjuru dunia. Di Indonesia sendiri, perayaan ini hanya dimaknai dengan sembahyang langit dan memakan kue bulan.

Asal-usul Persembahan kepada Dewi Bulan.

Para Kaisar Tiongkok memuja dewi bulan dengan keyakinan ritual ini bisa mendatangkan hasil panen yang berlimpah-ruah pada tahun-tahun selanjutnya.

Para bangsawan, saudagar, pejabat pemerintah mengadakan pesta menikmati cahaya bulan secara besar-besaran di istananya masing-masing. Makanan lezat, minuman, dan pesta tari-tarian, ramai tersedia pada pesta di malam itu.

Sementara rakyat biasa melakukan perayaan dengan cara yang lebih khidmat. Mereka berkumpul bersama keluarga, memberikan persembahan berupa bunga, kue dan buah-buahan, sembari memanjatkan doa rasa syukur dan terima kasih kepada dewi bulan.

Asal-usul Tradisi Makan Kue Bulan.

Tradisi makan kue bulan sendiri sudah dimulai sejak zaman Dinasti Yuan (1271-1368), yang terciptakan dengan cara yang unik.

Di akhir masa Dinasti Yuan, bangsa Han telah Menyusun pemberontakan besar terhadap bangsa Mongolia. Mereka bermaksud untuk menyebarkan berita ini kepada seluruh bangsa Han untuk bersatu-padu melawan pemerintahan, tanpa diketahui oleh bangsa Mongolia.

Penasehat militer dari kaum pemberontak bangsa Han, Liu Bowen, kemudian mendapatkan ide yang brilian.

Ia memerintahkan para prajuritnya untuk menulis pesan pemberontakan di malam Festival Musim Gugur pada secarik kertas kecil, dan menyisipkannya pada kue berbentuk bulan yang kemudian disebarkan ke seantero negeri.

Tepat di malam Festival Musim Gugur, pecahlah pemberontakan besar-besaran yang berhasil menggulingkan pemerintahan bangsa Mongol. Sejak saat itu, kue bulan lazim dikenal dan dikenang sebagai kemenangan bangsa Han pada setiap Festival Musim Gugur.

Makna Festival Kue Bulan di Masyarakat Modern.

Namun, pergeseran makna terhadap Dewi Bulan pun mengalami perubahan. Masayarakat Tionghoa tidak lagi mengenang kemenangan atas bangsa Mongol.

Festival Musim Gugur dimaknai sebagai perayaan kebersamaan dan ajang kuliner besar-besaran. Kue bulan yang dibagikan kepada keluarga, sahabat, dan kerabat, menandakan ajang silaturahmi tahunan.

Dewi Bulan juga tidak lagi dianggap sebagai dewi fortuna yang bisa mendatangkan hasil panen yang berlimpah. Kini masyarakat Tionghoa menganggap Dewi Bulan sebagai Dewi Cinta.

Konon kabarnya, jika sepasang kekasih yang sedang dilanda asmara, memuja dewi bulan di malam hari, maka mereka akan diberkati sebagai pasangan yang romantis, langgeng dan tak terpisahkan.

Oh ya... para jomblo juga bisa ikutan, jika ingin dapat jodoh bak dewa tampan dan dewi cantik dari surgawi.

Tertarik? jangan lupa makan kue bulan sebelum berdoa ya...

Referensi: 1 2

SalamAngka

Rudy Gunawan, B.A., CPS

Numerolog Pertama di Indonesia -- versi Rekor MURI

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun