Mohon tunggu...
Acek Rudy
Acek Rudy Mohon Tunggu... Konsultan - Palu Gada

Entrepreneur, Certified Public Speaker, Blogger, Author, Numerologist. Mua-muanya Dah.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Jauh Sebelum dengan Setan, Pesugihan adalah untuk "Tuhan"

29 September 2020   13:02 Diperbarui: 29 September 2020   13:29 1113
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi Praktik Hitobashira (sumber: indozone.id)

Hingga saat ini, praktik pesugihan masih menempati urutan teratas dalam kepercayaan gaib masyarakat Nusantara. Tujuannya adalah memperoleh kekayaan secara instan tanpa harus bekerja keras.

Praktik pesugihan dapat dilakukan dengan beberapa cara. Mulai dari sekedar melakukan ritual tapabrata di gunung kawi, hingga ritual seks bebas di gunung kemukus.

Jenis-jenis pesugihan yang terkenal juga sudah bukan rahasia umum lagi. Bagi masyarakat yang tertarik, informasi dapat dengan mudah didapatkan, baik melalui media, hingga menggunakan jasa perantara.

Pesugihan adalah cara instan untuk menjadi kaya melalui perjanjian dengan mahluk gaib, seperti jin atau siluman.

Salah satu karakteristik dari pesugihan adalah tumbal, atau korban nyawa yang dijanjikan kepada sang pemberi empunya kuasa. 

Pada umumnya, yang dikorbankan adalah diri sendiri, atau orang yang masih memiliki hubungan darah.

Meskipun pesugihan adalah bagian dari tradisi Nusantara, namun sebenarnya praktik ini sudah berlangsung lama, dan tersebar di hampir seluruh kebudayaan dunia.

Jauh sebelum agama modern dikenal, masyarakat kuno memiliki persepsi mengenai "Tuhan" dengan caranya sendiri. Proses keyakinan terhadap Tuhan sangat berhubungan dengan perilaku sosial bagi masyarakat di kala itu.

Kehidupan yang keras, membuat manusia menerapkan hukum rimba. Siapa yang kuat, dialah yang menang.

Perilaku penjajahan, perampasan, bahkan pembunuhan massal dari golongan yang kuat terhadap kaum yang lemah, sangat umum terjadi.

Pembunuhan adalah hal yang harus dilakukan untuk mensahihkan kekuasaan. Kepala dari pemimpin musuh yang dipenggal, lazim menjadi hadiah bagi raja yang memenangkan pertempuran.

Di saat yang sama, manusia juga menyadari adanya sebuah kekuatan yang lebih besar dari kuasa manusia. "Tuhan" dalam bentuk dewa atau roh kemudian dipersepsikan memiliki perilaku yang sama dengan manusia barbar di zaman itu.

Pada saat ajaran moralitas dan hak azasi manusia belum dikenal secara umum, kemalangan sering dianggap sebagai hukuman dari "Tuhan".

Bagi masyarakat kuno, satu-satunya jalan untuk mencegah hukuman adalah dengan melakukan pengorbanan.

Keyakinan terhadap "Tuhan" sering melibatkan pengorbanan manusia sebegai bentuk kepatuhan dan ketakutan terhadap kekuasaan yang "hakiki".

Biasanya musuh yang tertangkap hidup-hidup, sering dijadikan persembahan kepada para dewa perang yang disembah.

Namun tidak jarang juga, kaum lemah, khususnya wanita dan anak-anak menjadi tumbal untuk menjaga atau mengembalikan kemakmuran.

Setidaknya ritual ini memiliki makna yang berbeda-beda. Mulai dari memenangkan peperangan, menenangkan dewa yang marah, mencegah gagal panen, atau hanya sekedar menambah kesakralan dari sebuah gedung.

Para ahli sejarah menemukan fakta bahwa praktik ini dilakukan secara luas di hampir seluruh kebudayaan manusia.

Dalam legenda Yunani Kuno, Agamemnon raja Yunani mengorbankan anaknya Ihigenia untuk menenangkan Dewi Artemis, agar dapat memenangkan perang dengan bangsa Troya.

Dalam mitologi lainnya, tradisi pengorbanan perawan diawali oleh kisah Ratu Cassiopeia, istri cantik dari Raja Cepheus.

Suatu hari ia membual mengenai kecantikan anaknya, Andromeda, yang jauh lebih cantik dibanding anak wanita dari keluarga Nereids.

Namun ucapannya ini ternyata membuat Dewa Poseidon tersinggung, lantaran salah satu istrinya adalah Nereids. Monster laut Poseidon, Cetus kemudian menghancurkan kota Raja Cepheus.

Ilutrasi Cetus, Monster Dewa Poseidon (sumber: fineartamerica.com)
Ilutrasi Cetus, Monster Dewa Poseidon (sumber: fineartamerica.com)
Satu-satunya cara untuk menenangkan Poseidon adalah dengan memberikan Andromeda sebagai tumbal, demi menyelamatkan wilayah kerajaan.

Sementara penemuan arkeolog di Mesir dan China, banyak menemukan mayat dari para selir, kuli, dan tentara yang dikubur hidup-hidup bersama raja yang sudah meninggal.

Masyarakat kuno menganggap raja maupun kaisar sebagai dewa yang diutus ke bumi. Mereka meyakini bahwa sang raja akan kembali ke surga, pada saat ia meninggal nantinya, dan masih memiliki peranan yang besar terhadap rakyatnya.

Foto Penemuan Arkeolog dari Kerangka yang dikubur hidup-hidup di peru (sumber: liputan6.com)
Foto Penemuan Arkeolog dari Kerangka yang dikubur hidup-hidup di peru (sumber: liputan6.com)
Oleh sebab itu, praktik mengubur manusia hidup-hidup lazim dilakukan. Hal ini dimaksudkan sebagai bentuk persembahan dan penghormatan kepada sang dewa.

Mereka khwatir sang raja akan murka jika tidak lagi mendapatkan apa yang sudah terbiasa dinikmati selama masih hidup.

Salah satu bentuk ritual yang masih eksis hingga saat ini, adalah praktik Sati di India. Ritual yang berkembang melalui tradisi Hindu Kuno ini, mengharuskan seorang janda membakar dirinya sampai mati di tumpukan kayu kremasi suaminya.  

'Sati' yang berasal dari bahasa Sansekerta 'Asti", yang berarti 'dia murni atau benar'. Pada awalnya, ritual ini adalah tindakan sukarela yang dianggap heroik, namun seiring waktu berjalan, kemudian menjadi praktik paksa.

Ilustrasi Ritual Sati (sumber: phinemo.com)
Ilustrasi Ritual Sati (sumber: phinemo.com)
Dalam mitologi Hindu Kuno, Sati adalah istri Dewa Siwa. Namun demikian ayahnya tidak pernah menghormati Siwa.

Untuk memprotes kebencian ayahnya, Sati kemudian membakar dirinya sendiri dengan maksud agar ia dapat menjadi istri dari Sang Dewa lagi. Dalam mitologi, inkarnasi dari Sati adalah Parvati.

Sebuah catatan sejarah yang dibuat oleh Ma Huan, anggota ekspedisi Cheng Ho, antara tahun 1413 hingg 1415, menyatakan bahwa praktik Sati ini juga sempat berlangsung di pulau Jawa dan Bali.

Ritual Sati memang tidak lagi dipraktikkan, namun budaya Sati masih memengaruhi cara pandang masyarakat India terhadap janda yang dianggap sebagai beban keluarga.

Sehingga meskipun tidak lagi dibakar, mereka dianggap sebagai kutukan dan harus mengasingkan diri, agar para dewa tidak menurunkan malapetaka kepada keluarga dan lingkungannya.

Sekitar 10 tahun yang lalu, penulis pernah menghadiri acara undangan peletakan batu pertama dari sebuah perusahaan Jepang di Kawasan industri, daerah Jawa Barat.

Acara berjalan mulus seperti biasa, hingga sebuah kejanggalan yang penulis rasakan di tengah berlangsungnya acara.

Presiden Direktur perusahaan tersebut, yang merupakan warga negara Jepang, beserta beberapa tamu kehormatan, berbaris membawa beberapa kepala kerbau untuk ditanamkan di empat sudut pilar bagian dari gedung utama nantinya.

Sebenarnya tradisi ini juga berlaku umum dalam sebagian golongan masyarakat, namun terasa janggal jika pencetusnya adalah orang jepang yang mewakili perusahaan Jepang.

Hingga akhirnya, penulis menghubungkan apa yang dilakukan saat itu, dengan sebuah ritual kuno dari abad ke-15, yaitu praktik "Hitobashira" atau pilar manusia.

Dalam praktik itu, para gadis perawan dikubur hidup-hidup di dasar laut, atau dalam tembok bangunan berskala besar, seperti benteng, bendungan, atau jembatan.

Ilustrasi Praktik Hitobashira (sumber: indozone.id)
Ilustrasi Praktik Hitobashira (sumber: indozone.id)
Tujuannya sebagai bentuk doa dan persembahan kepada para dewa, agar bangunan yang sudah didirikan dapat terlindungi dari bencana atau serangan musuh.

Tradisi "Hitobashira" sangat berhubungan dengan pembangunan proyek-proyek yang kompleks. Bahkan jejak praktik tradisi kuno ini juga ditemukan di Hokkaido.

Beberapa orang mengaku menemukan sisa-sisa tulang belulang manusia di daerah sekitar beberapa jembatan dan terowongan. Tidak diketahui secara pasti, darimana dan bagaimana kerangka manusia itu bisa berada di sana, namun rumor mengatakan "para pekerja sengaja dikorbankan selama masa konstruksi".

Pengorbanan manusia, tidak lagi menjadi praktik yang legal di masa sekarang. Namun tradisi mengorbankan mahluk hidup, khususnya hewan, masih terlihat jelas dalam beberapa adat istiadat di Nusantara.

Pesugihan mendapatkan perhatian khusus, karena sifatnya yang khas. Meminta jalan pintas untuk mencari kekayaan, meskipun harus mengorbankan nyawa. Tiada bedanya dengan pemahaman para nenek moyang manusia.

Meskipun banyak yang skeptis, namun tradisi pesugihan yang terkesan kuno ini masih tumbuh subur di kalangan masyarakat.

Dari sini kita bisa melihat bahwa dunia pesugihan masih masuk dalam konteks nalar manusia modern.

Pesugihan tumbuh melalui jalur mitos dan legenda rakyat. Disampaikan secara turun menurun, hingga menjadi bagian dari warisan budaya tidak resmi.

Terlepas dari efektif atau tidaknya sebuah pesugihan, semua kembali kepada masalah keyakinan.

Lantas mengapa manusia Indonesia masih memercayai ritual pesugihan? Diambil dari beberapa sumber, penulis memberikan beberapa tulisan terhadap hal ini.

Proses Transisi Nilai Kebudayaan.

Kita sudah berada di zaman modern, dimana penjelasan yang berlogika sangat tersedia secara luas.

Namun demikian, masyarakat Indonesia masih memegang nilai-nilai luhur kebudayaan yang harus dianut sebagai perekat dalam kehidupan sosial yang majemuk.

Kita mengenal pepatah-pepatah kuno yang sangat sering menjadi patokan terhadap pergeseran budaya.

Bagaimana anak-anak muda yang sudah mengadopsi kultur asing secara membabi buta, seringkali diingatkan untuk kembali berpegang kepada budaya asli suku dan bangsa.

Nah, tanpa disadari, pedoman kepada nilai tradisi ini membuat perilaku manusia akan selalu berlabuh di lingkungan di mana nenek moyang mereka berkembang.

Ajaran kuno sering diambil sebagai referensi dalam menjalankan kehidupan. Sayangnya, kisah legenda mistis, juga menjadi bagian dari referensi tersebut, sehingga, masyarakat yang tidak memahami, akan memaknai ritual sebagai salah satu keabsahan warisan.

Problema Hidup yang Semakin Kompleks.

Bukan rahasia lagi, hidup semakin lama semakin susah. Penyebab yang paling jelas adalah peningkatan populasi penduduk dunia. Para moyang bisa menikmati tanah yang berhektar-hektar luasnya. Namun, saat sekarang, sebuah bangunan kecil ukuran setapak sudah lazim dihuni oleh belasan hingga puluhan orang.

Tingkat kompetisi membuat manusia harus bertahan hidup dengan cara yang tidak biasa-biasa lagi. Aturan yang dimaksudkan untuk mempermudah, terbukti mengendap sebagai keruwetan.

Belum lagi nilai-nilai luhur manusia sebagai mahluk sosial, kini sudah berubah menjadi "elu-lu, Gue-gue".

Pada saat penderitaan hidup meningkat, adalah hal yang wajar untuk mencari bantuan lewat jalur spiritual. Agama telah membuka jalan, agar beban psikologis manusia dapat berkurang.

Namun, level keyakinan menjadi masalah. Agama tidak menjanjikan hal yang instan. Sementara 'produk spiritual alternatif' dapat dengan mudah ditemukan dalam buku-buku peninggalan leluhur. Jadilah pesugihan sebagai produk pilihan bagi mereka yang ingin segera keluar dari penderitaan.  

Selain itu, sebuah riset psikologi yang dipublikasikan oleh The Psychological Science, menemukan fakta bahwa "manusia cenderung percaya pada tanda-tanda mistik dan mulai melakukan ritual tertentu, ketika menyalahkan dirinya akibat nasib buruk yang diderita, sebagai upaya mengubah nasib".

Referensi: 1 2 3 4 5

SalamAngka

Rudy Gunawan, B.A., CPS

Numerolog Pertama di Indonesia -- versi Rekor MURI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun