Alkisah seorang ayah dan anaknya yang berprofesi sebagai tukang akrobat keliling. Pekerjaan mereka memberikan hiburan melalui tontonan keahlian akrobatik pada tiang bambu yang menjulang tinggi.
Tentu pekerjaan ini sangatlah berbahaya, karena sedikit gerakan yang salah saja, akan mengakibatkan cedera parah, bahkan mungkin kematian. Untuk itu, maka kekompakan dari kedua orang ini sangatlah menentukan bagaimana kesuksesan mereka.
Namun demikian, meskipun sudah sangat terlatih dan memahami tugas masing-masing, tetap saja ayah dan anak ini, memiliki persepsi yang berbeda dalam hal kekompakan.
Sang ayah selalu memberi pesan agar mereka harus saling menjaga, sementara sang anak berprinsip mereka harus menjaga diri masing-masing, agar tidak terjatuh dari tiang yang tinggi.
Sahabat yang budiman, dalam keseharian adalah hal yang wajar jika kita harus bergandengan tangan untuk menghadapi kehidupan. Sesungguhnya kedua prinsip ini tidaklah berjalan dengan sendirinya.
Menjaga diri sendiri sama seperti menjaga orang lain. Pun halnya dengan menjaga orang lain, akan menjaga diri sendiri.
Namun, sudut pandang yang bersahaja ini, sering tidak dipahami oleh banyak orang. Manusia yang cenderung individualis, tidak lagi memegang prinsip-prinsip kemanusiaan yang seharusnya dilakukan bersama.
Manusia sering terjebak dengan pola pikir, bahwa kepentingan diri haruslah di atas segala-galanya. Bagi mereka, setiap orang lain memiliki potensi untuk menghancurkan masa depan.
Lebih celaka lagi, jika prinsip sepak bola digunakan dalam kehidupan. "Pertahanan terbaik adalah menyerang".
Sudut-sudut pandang ini, justru semakin menimbulkan jarak dan melupakan hakekat bahwa manusia adalah mahluk sosial.
Kita terjebak dengan pengalaman masa lalu. Membangkitkan penyesalan demi penyesalan. Atas nama 'belajar dari pengalaman', justru pengalaman buruklah yang mengemuka.