Mohon tunggu...
Acek Rudy
Acek Rudy Mohon Tunggu... Konsultan - Palu Gada

Entrepreneur, Certified Public Speaker, Blogger, Author, Numerologist. Mua-muanya Dah.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Legenda Perburuan Penyihir: Tragedi Kelam Kemanusiaan

27 September 2020   18:12 Diperbarui: 27 September 2020   18:13 2358
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi Perburuan dan Eksekusi Penyihir (sumber: idntimes.com)

Kisah Nenek Sihir adalah sesuatu yang sudah tidak terasa asing lagi di telinga. Wajah buruk rupa, hidung bengkok, dan ketawa cekikan, menambah daftar alasan yang kuat baginya, untuk dicap sebagai tokoh jahat.

Tidak heran, penyihir telah menjadi momok semenjak ratusan tahun yang lalu di seluruh penjuru dunia. Mereka dikucilkan, dibenci hingga diberangus.

Adalah Raja James I, di Inggris yang pertama kali menyerukan permusuhan terhadap dunia penyihir. Kebenciannya terhadap dunia gaib ini berhasil membuatnya membujuk parlemen untuk membuat Witchcraft Statute, atau undang-undang legislatif yang menyerukan permusuhan apapun yang berbau dunia sihir dan gaib.

Sesuai ketentuan undang-undang tersebut, siapapun yang terlibat praktik sihir dapat dihukum mati. Agar perintahnya dapat tersosialisasi dengan baik, sang raja merilis buku laris berjudul "Daemonologie", dan juga propaganda yang menimbulkan kecemasan di tengah masyarakat.

Tidak memerlukan waktu yang lama, perburuan penyihir pun memakan korban yang tidak sedikit. Hanya dalam waktu satu dekade, ratusan ribu tersangka dan terdakwa penyihir dimusnahkan.

Kebanyakan dari mereka adalah wanita, dan tidak sedikit juga yang dihukum tanpa keterlibatan pengadilan. Perburuan terhadap penyihir, tidak terjadi di Inggris saja, namun juga menyebar hingga ke negara tetangga.

Euforia Pembantaian Penyihir di Skotlandia.  

Adalah 'The Great Witch Hunt of Scotlandia", yang tercatat sebagai pembantaian massal terbesar dalam sejarah Skotlandia.

Terjadi pada tahun 1661 dan berawal dari sebuah desa kecil Eidenburgh, dimana 200 orang dituduh sebagai penyihir hanya dalam tempo 9 bulan saja.

Sebelum tahun 1662 berakhir, total 660 tertuduh penyihir telah dieksekusi dengan cara dibakar hidup-hidup. Akan tetapi laporan sejarah mencatat, hanya 65 orang saja yang dieksekusi melalui pengadilan resmi.

Ahli sejarah menganalisis bahwa pembiaran pembantaian penyihir sengaja dilakukan oleh pihak otoritas. Hakim Inggris tidak bersedia menuntut tersangka sihir Skotlandia, meskipun saat itu, Skotlandia masih dibawah kekuasaan kerajaan Inggris.

Dengan demikian, maka rakyat Skotlanladia diberikan kekuasaan penuh untuk menentukan nasib para penyihir. Bagai api yang membakar di musim panas, orang-orang di Skotlandia melakukan tindakan main hakim sendiri. Laman sains Smithsonian malahan mengutip angka 3000 untuk korban yang meninggal, akibat perburuan ini.

Kekuasaan Absolut Uskup Agung di Jerman.

Pihak gereja pun tidak mau kalah, mereka juga berperan dalam perburuan untuk mengambil kesempatan dalam kesempitan untuk membangun kembali posisi tawar mereka di tengah masyarakat.

Terjadi pada tahun 1581 hingga 1593, dan dimulai pada saat Johan Von Schoneburg ditunjuk sebagai uskup di Trier, sebuah kawasan pedesaan di Jerman.

Uskup Von Schoneburg adalah seorang garis keras yang berniat untuk melenyapkan para praktisi sihir. Dalam kurun waktu 10 tahun, 368 orang terduga penyihir, yang semuanya adalah wanita, dibakar hidup-hidup.

Pembantaian ini begitu masif, sehingga dari 22 desa, hanya dua desa saja yang masih menyisakan perempuan.

Itupun dari golongan bangsawan atau pejabat pemerintahan. Selebihnya, kalau bukan dibakar, dipenjara, melarikan diri entah kemana.  

Ini belum termasuk beberapa orang terkemuka dari kalangan hakim, pastor paroki, dosen, hingga pemimpin desa yang dianggap sebagai simpatisan yang melindungi para praktisi sihir.

Cornelius Loos, seorang ilmuwan terkemuka, dipenjara, disiksa, dan dibakar hidup-hidup di depan umum, karena menerbitkan sebuah buku yang menolak pandangan tentang pengadilan bagi penyihir.

Dietrich Fade, seorang rektor universitas dan juga hakim setempat, menyatakan keberatan terbuka terhadap penyiksaan. Ia pun akhirnya ditangkap, disiksa, dan dibakar.

Perburuan Penyihir dengan Metode Pemburu Bayaran.

Pada abad ke-17, di Moravia Utara (kini Republik Ceko), ratusan wanita dibakar hidup-hidup atas tuduhan sebagai penyihir. Bukan hanya tertuduh penyihir saja, namun hukuman juga berlaku bagi mereka yang terlibat dengannya, baik langsung, maupun tidak langsung.

Tragedi dimulai ketika seorang anak lelaki melihat ada seorang wanita tua mengantongi roti komuni, yang seharusnya dimakan pada saat misa berlangsung.

Ketika pastor menanyakannya, sang wanita tua menjelaskan bahwa ia akan memberikan roti tersebut kepada sapi agar produksi susunya meningkat. Pastor menganggap bahwa perilaku tersebut adalah praktik sihir dan memberitahu hakim atas kasus tersebut.

Sayangnya, sistem peradilan di kala itu, benar-benar dimanfaatkan oleh para penegak hukum yang korup. 

Semakin banyak orang dibakar di depan umum, semakin banyak uang yang didapatkan dari pemerintah. Akibatnya ada saja cara untuk mendapatkan lebih banyak 'penyihir' untuk dieksekusi.

Metode yang mereka lakukan adalah melibatkan pengumpulan informasi dari para warga, sehingga jumlah korban meningkat, akibat banyaknya intrik yang muncul dari masyarakat yang bermusuhan untuk melenyapkan musuh-musuhnya.

Demikian hebatnya kisah ini, sehingga di Republik Ceko, ada perayaan khusus yang dibuat untuk memperingati kematian penyihir. Tanggal yang ditetapkan adalah 30 April dan masih menjadi tradisi turun menurun bagi sebagian komunitas kecil.

Fanatisme Terhadap Dogma Keagamaan di Prancis.

Prancis termasuk negara yang lebih awal mempraktikkan perburuan terhadap penyihir. Diulas dari laman The Encyclopedia, pada abad kegelapan tersebut, Prancis memiliki tatanan sosial yang cenderung fanatik terhadap dogma-dogma keagamaan.

Kisah perburuan dan eksekusi penyihir hingga saat ini masih tercatat dengan baik. Alasan klasik juga masih sama. Mulai dari kebencian, kefanatikan ideologi, ketidakpahaman akan sains, hingga rumor tidak berdasar, semua menjadi dasar hukum untuk pembantaian massal ini.

Wasana kata.

Abad pertengahan di Eropa adalah masa yang kelam. Pemerintahan yang korup ditambah dengan serangan wabah, bencana kelaparan, dan kegagalan panen, membuat masyarakat mudah menyalahkan dan melampiaskan amarahnya.

Dalam abad kelam ini, sejarah mencatat lebih dari 500.000 orang yang telah dibunuh dari hasil perburuan penyihir, dan 85% diantaranya berasal dari kaum wanita.

Kaum wanita mudah diasosiasikan sebagai golongan penyihir, karena dianggap lemah dan tak berdaya oleh dominasi pria yang sangat kuat di zaman itu.

Pun halnya dengan golongan masyarakat yang tidak memiliki hubungan sosial yang kuat, hanya karena alasan tidak disukai, ia dengan mudah berakhir di tiang gantungan.

Hingga saat ini, sihir masih menjadi perdebatan yang tidak pasti, namun kisah tentang penyihir sudah menjadi legenda rakyat ratusan tahun yang lalu.  

Konyol... mungkin adalah kata yang paling tepat untuk menggambarkan tragedi ini. Namun, ada satu hal yang pasti yang dapat kita petik bersama.

Bahwa sekejam-kejamnya dunia binatang, tidak ada yang lebih kejam dari sifat manusia yang penuh intrik dan politik busuk untuk melenyapkan kaumnya sendiri.

Referensi: 1 2 3

SalamAngka

Rudy Gunawan, B.A., CPS

Numerolog Pertama di Indonesia -- versi Rekor MURI

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun