Mohon tunggu...
Acek Rudy
Acek Rudy Mohon Tunggu... Konsultan - Palu Gada

Entrepreneur, Certified Public Speaker, Blogger, Author, Numerologist. Mua-muanya Dah.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Pendidikan Kesetaraan Gender bagi Anak untuk Mencegah Diskriminasi Seksual

25 September 2020   06:24 Diperbarui: 27 September 2020   09:23 1060
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Photo by MI PHAM on Unsplash

"Hmmm... Roti B**, doesn't make sense... (tidak masuk akal)" Ujar Nadia, sang ponakan bule yang baru saja mendarat di Bandara Sultan Hasanuddin, Makassar.

Menurut Rika, ibunya, Nadia yang kala itu berusia 7 tahun, memang punya masalah dengan anak lelaki di sekolahan. Nadia adalah pimpinan dari geng anak cewek yang bermusuhan dengan geng anak cowok di sekolahnya.

Pantas saja merek yang berhubungan dengan panggilan anak lelaki itu, langsung dimusuhinya. Baginya, roti adalah sesuatu yang bisa dinikmati bersama, bukan hanya untuk anak lelaki saja.

Penulis jadi membayangkan, sewaktu masih ingusan, dan belum memahami indahnya cinta, geng anak laki dan perempuan pun marak terjadi di sekolahan.

Kelihatan sepele, tapi bagaimana jika itu ternyata adalah bibit dari diskriminasi seksual atau budaya patriarki yang berbahaya?

Mari kita ulik bersama.

Sejak dokter kandungan mengumumkan jenis kelamin calon bayi, para bunda sudah mulai mempersiapkan pernak-pernik yang berhubungan dengannya. Baju biru dan mainan mobil-mobilan untuk bayi pria. Warna merah muda dan boneka untuk bayi wanita.

Semua dimaksudkan agar sang calon lelaki sudah mengenal konsep maskulin, demikian pula dengan wanita yang diharapkan akan menjadi gadis ayu dan lembut.

Konsep perbedaan gender.

Seiring berjalannya usia anak, konsep perbedaan gender akan muncul bersama dengan pemahaman tentang ego dan juga konsep moral dan tanggung jawab sosial yang harus diembannya.

"Anak lelaki kok nangis? Anak perempuan kok main bola?" Sebuah pernyataan yang nampaknya biasa-biasa saja, namun sebenarnya membuka jurang yang sangat bersar terhadap perbedaan gender.

Pun halnya dengan aturan-aturan yang berlaku di rumah dan di sekolah. Protes akan dimulai sebelum sang anak memahami konsep sosial dari gender itu sendiri.

Bentuk yang paling mudah adalah pertanyaan yang paling ringan dari sang anak, mengenai mengapa anak lelaki bisa ini, dan tidak bisa itu, dan lain sebagainya.

Di rumah sendiri, perbedaan perlakuan, kesempatan dan lingkup aktivitas, akan menimbulkan perseturuan di antara saudara yang beda gender.

"Ma, kenapa kakak bisa main layangan, aku gak bisa?"

"Pa, kenapa bukan adik yang membuang sampah?"

Bahaya konsep perbedaan gender.

Makna gender tidak hanya jenis kelamin saja. Ia juga memiliki makna luas yang mencakup sifat, aktivitas, keberadaan, peranan, dan tanggung jawab masing-masing dalam konteks kehidupan bermasyarakat.

Sebelum mengenal perananan gender, anak kecil melakukan perbandingan 'apple to apple' mengenai hak dan kewajiban dengan saudara atau teman lainnya. Tidak heran, jika kemudian timbullah pertanyaan yang menjurus kepada keadilan.

Pada saat yang sama, setiap anak juga memiliki ego, yang diasosiasikan dengan keberadaan dirinya. Perbedaan hak dan kewajiban ini kemudian dapat berkembang menjadi stigma 'like' dan 'dislike'.

Lebih dalam lagi, perasaan sakit atau senang akibat perbedaan gender tersebut, kemudian diasosiasikan dengan perbedaan perlakukan terhadap anak lelaki dan perempuan.

Jika tidak berhati-hati, maka pemahaman perbedaan gender yang salah akan tumbuh pesat dalam otak anak yang masih polos.

Seiring waktu berjalan, seorang anak wanita bisa saja menjadi sangat pemalu terhadap lelaki, yang ia anggap 'bukan kaumnya'. Sementara anak lelaki dapat tumbuh menjadi pria yang tidak menghormati wanita.

Ilustrasi Kesetaraan Gender (sumber: ccfinorman.org)
Ilustrasi Kesetaraan Gender (sumber: ccfinorman.org)

Konsep kesetaraan gender.

Konsep kesetaraan gender harus didengungkan sejak masih kanak-kanak. Usia bayi hingga 5 tahun, disebut dengan periode emas. Pada masa ini, karakter anak akan sangat mudah terbentuk.

Mereka akan memroses segala informasi berdasarkan pengajaran dan pengalaman yang ia alami. Periode 5 tahun inilah yang akan membentuk karakter mereka sebagai manusia dewasa.

Demikian pula dengan konsep kesetaraan gender. Jika hal ini sudah tertanam, maka sang anak akan sangat mungkin mengurangi sikap diskriminatif, dan bias gender pada saat dewasa nantinya.

Apa saja pendidikan kesetaraan gender ini?

Yang pasti, pendidikan seks termasuk di dalamnya. Mengenalkan anak dengan anatomi tubuh dan sekaligus apa yang bisa dan tidak bisa dilakukan, , dan bagaimana menjaga privasi pada bagian privat ini, sebaiknya sudah dilakukan sejak dini.

Selanjutnya, sang anak juga harus diajarkan mengenai cara (manner) bersikap dari lelaki dan wanita, seperti ritual peribadatan, cara berpakaian, cara duduk, cara berjalan, dan lain sebagainya.

Pendidikan tentang kesetaraan gender, bukan tentang kesamaan. Anak-anak harus ditekankan bahwa ada perbedaan yang harus dipahami sebagai sesuatu yang normal, tapi tidak hirearkis.

Praktik pendidikan kesetaraan gender.

Kesalahpahaman terbesar berasal dari konsep gender itu sendiri. Pemahaman dangkal bahwa anak wanita adalah wanita, dan anak pria harus menjadi lelaki pada umumnya adalah salah.

Sejak zaman dulu, nenek moyang kita telah mengajarkan bahwa gender dan jenis kelamin adalah dua hal yang berbeda. Seorang lelaki, bisa saja memiliki perasaan halus seperti wanita, demikian pula tidak masalah jika wanita suka main mobil-mobilan.

Baca juga: Genderqueer, Bukan Pria, Bukan Wanita, Bukan Pula LGBT

Mainan berfungsi untuk mengolah motorik halus, kasar, dan psikomotorik sang anak. Jangan melarang anak lelaki bermain boneka, namun tumbuhkanlah sifat kebapakan yang ditunjukkan kepada boneka yang merepresentasi adik kecilnya.

Pun halnya dengan menangis. Siapapun berhak menangis, bahkan jika ia adalah seorang "Rambo". Menangis adalah hal yang wajar, khususnya bagi anak yang masih belum mengerti terlalu banyak.

Cara terbaik untuk menghentikan anak menangis, adalah dengan memeluknya dan memberikan pemahaman, bahwa menangis bisa membuat mata bengkak dan kepala pening.

Jangan terlalu khwatir, ia akan menjadi anak yang cengeng. Karena dengan memeluknya erat, ia tahu betapa orangtua menyayanginya.

Mengatakan 'anak lelaki kok cengeng' akan menimbulkan persepsi bahwa menangis adalah hal yang lemah, sehingga anak perempuan yang secara karakter lebih sering menangis, adalah mahluk yang lemah.

Selain itu, tidak tertutup kemungkinan, anak lelaki maupun wanita, dapat menunjukkan superioritasnya dengan merudung anak lain hingga menangis.

Anak wanita yang terlalu dibatasi untuk aktivitas fisiknya, hanyalah bentuk praktik pingit modern. Hal ini akan menjadikannya mahluk yang lemah, tanpa keahlian dasar untuk bertahan hidup. Di zaman now, cukup banyak anak perempuan yang belajar bela diri, dan hal ini ternyata bagus untuk membuatnya terhindar dari ancaman pelecehan seksual.

Kunci utama dalam mengajarkan anak tentang kesetaraan gender, adalah tidak membedakan aktivitas apa dan yang tidak bisa. Karena aktivitas tidak berjenis kelamin, sebagaimana kita melihat chef pria, dan tentara wanita.

Dalam jangka panjang, kesetaraan gender tidak hanya menumbuhkan rasa percaya diri, namun juga kemampuan untuk berbagi peran dengan pasangannya kelak. Suami bisa memasak, jika istri tidak di rumah, dan tidak harus menunggu ayah pulang untuk menggantikan balon lampu.

Wasana kata.

Banyak cara untuk mendidik kesetaraan gender bagi anak, namun diantara semuanya, yang terpenting adalah memberikan contoh. Sang anak akan meniru peranan ayah dan ibunya sendiri dalam konteks kesetaaan gender secara sosial.

Anak lelaki akan melihat bagaimana ayahnya memperlakukan ibunya, dan demikian pula sebaliknya. Janganlah menyalahkan siapa-siapa, jika ternyata anak anda tumbuh menjadi wanita yang membenci lelaki, atau sebagai pria yang tidak pernah menghargai wanita.

Semoga bermanfaat!
Referensi: 1 2 3

SalamAngka
Rudy Gunawan, B.A., CPS
Numerolog Pertama di Indonesia - versi Rekor MURI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun