Peristiwa pemerasan dan pembunuhan di apartemen Kalibata City, begitu menggegerkan. Korban Rinaldy Harley Wismanu dimutilasi menjadi 11 bagian setelah dibunuh.
Kedua pelakunya adalah Laeli Atik Supriyatin (LAS), dan Djumaidi Al Fazri (DAF) adalah sepasang kekasih. Mereka mengaku melakukan pembunuhan berencana itu dengan maksud ingin menguasai harta korban.
Tersangka LAS dan korban berkenalan lewat aplikasi pencari jodoh, Tinder. Sebelumnya mereka sudah beberapa kali bertemu, namun, pada tanggal 9 September 2020, barulah LAS dan DAF mengatur sebuah skenario untuk menghabisi korban.
Setelah korban dan LAS bersama-sama masuk ke kamar apartemen, dan berhubungan badan, DAF pun muncul, dan menghantam batu bata yang sudah disiapkan sebelumnya ke kepala korban sebanyak tiga kali, dan menusuknya dengan pisau tujuh kali.
Kedua tersangka sempat kebingungan, waktu korban meninggal dunia, namun keduanya kemudian sepakat untuk menyembunyikan mayat dengan memutilasi tubuh korban sebanyak 11 bagian.
Peristiwa ini membuat publik terhenyak. Terlebih setelah mengetahui bahwa latar belakang LAS adalah lulusan FMIPA Universita Indonesia, aktif berorganisasi, dan pernah bekerja di sebuah perusahaan farmasi asing.
Pembunuhan adalah sebuah kejahatan keji, apalagi jika dilakukan tanpa rasa bersalah sama sekali. Selama berpuluh-puluh tahun, manusia sudah berusaha menemukan jawaban "Apa yang ada di dalam otak seorang pembunuh?"
Keyakinan terbesar dari para saintis adalah adanya bagian tertentu pada otak pembunuh yang berbeda. Para peneliti mencoba mencari tahu hal ini dengan melakukan penindaian otak dengan menggunakan MRI.
Ternyata, sebuah penelitian oleh Monash University, Australia, menemukan fakta bahwa wilayah yang disebut dengan Lateral Orbitofrontal Cortex (OFC)Â menjadi sangat aktif pada orang-orang yang membenarkan kejahatan.
Lateral OFC disebutkan sebagai area otak penting yang terlibat dalam pengambilan keputusan moral. Dimana, jika seseorang merasa telah melakukan hal yang benar, maka aktivitas Lingual Gyrus pada bagian otak ini akan meningkat.
Hal ini ditemukan oleh peneliti dari sebagian partisipan yang merasa tidak bersalah ketika diminta untuk bermain video game yang menembaki waga sipil.
Sementara, para partisipan yang enggan melanjutkan permainan video game ini, ditemukan peningkatan aktivitas otak berbeda, pada Fusiform Gyrus. Dengan demikian, Dr. Pascal Molenberghs menyimpulkan bahwa perasaan bersalah sebenarnya sangat berhubungan dengan aktivitas otak tertentu.
Penelitian terpisah lainnya, juga menyatakan bahwa kebanyakan aksi pembunuhan dilakukan dari keinginan yang besar untuk melakukan hal yang benar.
Dr. Alan Fiske dari University of California menyatakan, bahwa alibi utama dari para pelaku pembunuhan adalah bahwa "mereka harus melakukannya dan bahwa itu secara moral diperlukan." Meskipun, bukan dalam keadaan terdesak.
Hal senada juga dikemukakan oleh Dr. Gerhard Roth, seorang ilmuwan asal Jerman. Ia mengklaim telah menemukan bagian 'otak jahat' yang terdapat dalam kepala pembunuh, pemerkosa, dan perampok.
'Bagian jahat' itu terletak pada lobus tengah otak dan ketika dipindai dengan sinar-X, bagian tersebut muncul sebagai massa gelap.
Penelitian dilakukan dengan meminta para pelaku kejahatan yang diminta untuk menonton film pendek yang berisikan adegan brutal dan kotor.
Para partisipan dengan catatan tindak kriminal, tidak menunjukan emosi, perasaan bersalah, atau rasa sedih, malahan massa gelap di depan otak, muncul di semua hasil scan.
Penelitian yang dilakukan berbagai tempat ini, sudah memikirkan hal yang lebih jauh lagi. Diharapkan penelitian mengenai cara kerja otak pembunuh, dapat mencari solusi untuk mendeteksi potensi otak yang bisa menjadi pembunuh.
Dr. Alan Fiske percaya bahwa tindak kejahatan memiliki genetik kecenderungan kekerasan. Ia menyebutkan adanya kasus dimana seseorang menjadi penjahat akibat dari tumor, cedera, atau defisit fisiologis, karena zat-zat tertentu seperti serotonin di otak depan tidak bekerja secara efektif.
Meskipun teorinya ini ditentang oleh Dr. Jens Foell, pakar neuropsikolog dari Florida State Universty, namun Foell setuju bahwa ada hubungan antara bagian otak dan kontrol emosional. Dalam arti yang lebih sederhana, perasaan manusia berhubungan dengan cara kerja otak.
Agama apapun, selalu menekankan bahwa membunuh adalah dosa besar. Dan memang secara logika, membunuh adalah hal yang sangat sulit dilakukan oleh manusia normal pada umumnya.
Namun, mengapa tetap saja pembunuhan terjadi? Sebagian mungkin melakukannya karena sudah terbiasa, namun sebagian besar akibat ketidaksengajaan, seperti pada kasus pembunuhan anak oleh orangtua yang kesulitan mengawasi saat belajar online.
Dalam Buddhisme, ada 5 sila yang menjadi keharusan bagi setiap umat. Pancasila ini adalah (1) tidak membunuh mahluk hidup (2) tidak mencuri (3) tidak berbohong (4) tidak berzinah/melakukan perbuatan asusila, dan (5) tidak mengonsumsi minuman/makanan yang dapat memabukkan.
Saya pernah bertanya kepada seorang Bhante, mengapa membunuh mahluk hidup 'kecil', seperti hewan atau serangga adalah hal yang dilarang?
Bhante tersebut menjawab, sebenarnya ada dua perspektif disini.
Yang pertama, karena sekecil apapun sebuah mahluk hidup, tetap ia adalah mahluk yang memiliki hak untuk hidup.
Membunuh binatang atau serangga, sama seperti memutus rantai kehidupan, yang seyogyanya harus ada untuk menjaga keseimbangan alam.
Yang kedua, dengan melatih tidak membunuh mahluk hidup, maka sesungguhnya melatih diri anda, untuk mengembangkan rasa empati, terhadap kehidupan.
Setiap tindak pembunuhan, sekecil apapun itu, selalu dilandasi dengan azas kebencian. Lama kelamaan, kebiasaan membunuh serangga kecil, akan tumbuh menjadi kebiasaan membunuh hewan-hewan lainnya yang lebih besar.
Jika tidak terkontrol, emosi atas azas kebencian yang sudah terbiasa dipupuk, akan membuat seseorang menghabisi nyawa orang lain, dalam keadaan tertentu yang dianggap benar.
Sekecil apapun potensi kejahatan, semuanya dimulai dari kebiasaan atas nama pembenaran.
SalamAngka
Rudy Gunawan, B.A., CPS
Numerolog Pertama di Indonesia -- versi Rekor MURI
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H