Prevelansi yang timpang ini juga tercermin dari jumlah rumah sakit jiwa yang hanya ada 48 buah untuk melayani sekitar 265 juta jiwa manusia di Indonesia. Lebih dari separuhnya berada di 4 provinsi, dan 8 provinsi tidak punya Rumah Sakit Jiwa.
Bagaimana dengan penderita stress, depresi, dan gangguan jiwa ringan lainnya? Menurut Riskesdas tahun 2018, prevalensi penduduk berusia 15 tahun ke atas yang mengalami gangguan adalah sebesar 14 juta orang. Sayangnya hanya 9 persen dari kasus depresi tersebut yang mendapatkan sentuhan medis maupun konsultasi.
Masih menurut data yang sama, prevalensi penduduk berusia 15 tahun ke atas yang mengalami depresi sebesar 6 persen, atau sekitar 14 juta orang. Sayangnya, hanya 9 persen dari penderita yang minum obat atau menjalani pengobatan medis.
**
Dari kondisi yang tidak seimbang ini, muncul lagi masalah baru. Ongkos konsultasi dan medikasi menjadi mahal, karena terpengaruh oleh hukum permintaan dan persediaan.
Oleh sebab itu, berdasarkan data yang dimiliki oleh RS Melinda Bandung, jika ada pemeriksaan kejiwaan gratis bagi masyarakat yang kurang mampu secara ekonomi dan potongan harga bagi kelompok mahasiswa, angka kunjungan pasien kejiwaan per bulannya bisa meningkat tajam hingga mencapai 750 pasien.
**
Situasi ini sangat mengkhwatirkan. Selain kurangnya tenaga ahli, hingga mahalnya biaya konsultasi yang membuat sebagaian masyarakat tidak tersentuh.
Sebagai akibatnya, pengobatan alternatif dari tenaga non-medis seperti dukun dan sejenisnya, menjadi pilihan bagi penderita sakit jiwa.
Belum lagi stigma yang jelek terhadap penderita gangguan mental, hingga praktik pasung di negeri ini masih tinggi. Hal ini semakin diperburuk dengan minimnya sosialisasi kesehatan mental ini.
Keterlibatan lembaga-lembaga non medis yang tidak resmi juga turut memperparah hal ini. Banyak keluarga yang malu atau sudah tidak tahan, kemudian 'menitipkan' anggota keluarga mereka ke panti sosial, pengobatan tradisional, hingga Lembaga keagamaan.