Oleh sebab itu, setiap kali kehilangan sesuatu yang dirasa berharga, nangisnya bisa tujuh hari tujuh malam.
Mengapa rasa sedih karena kehilangan itu tidak enak rasanya? Karena ada faktor "Ku" disini. Baju-Ku, mobil-Ku, suami-Ku, istri-Ku, dan Ku-Ku lainnya.
Padahal kalau mau dipikir, pada akhirnya kita juga akan kehilangan. Tidak ada yang abadi di dunia ini.
Apakah handphone lama yang ditukar dengan merek terbaru akan menimbulkan rasa sedih? Tentu tidak, karena 'Ku' pada handphone lama, telah kehilangan jabatannya.
Pun halnya dengan suami orang yang direbut oleh wanita lain, sedih? Tidak, malah bawaannya gossip melulu. Tapi, kalau... tidak usah dilanjutkan lagi deh, 'amit-amit jabang bayi'.
Apakah sebenarnya 'Ku' dalam diri kita ini? 'Ku' dalam konteks sosiologi, adalah penanda batas antara diri dan orang lain yang didukung secara sosial. Sebagai bentuk kepemilikan, agar orang lain paham adanya kekuasaan yang dimiliki secara eksklusif terhadap objek 'Ku' oleh pemiliknya.
Namun dalam filsafat Buddhisme, kata 'Ku' ini memiliki istilah sebagai 'Anatta' atau 'Tanpa Inti'. Dengan berpedoman bahwa segala sesuatu tidak kekal adanya, 'Anatta' menjelaskan bahwa pada akhirnya 'Ku' adalah sebuah produk delusi.
Singkatnya, tidak ada kepemilikan yang sejati, bahkan tubuh dan jiwa itu sendiri. Yang ada hanyalah rasa kemelekatan terhadap rasa kepemilikan.
Tanpa disadari, rasa kemelekatan ini lah yang menimbulkan perasaan sakit, sedih, gelisah, amarah, dan lain sebagainya, jika rasa kemelakatan terusik. Sebagai contoh,
"Ponsel keluaran terbaru Mas Kevin hancur berkeping-keping" Apakah pernyataan ini membuat kamu sedih? Tidak... Apakah kita senang? Tergantung!
"Ponsel keluaran terbaru-Ku hancur berkeping-keping" Walah, tidak usah dibilang lagi, sakitnya itu lho disini!!!