Mitha datang menghampiriku yang sedang termenung diatas sofa apartemen mewahku di bilangan Casa Blanca.
Kepenatan kerja membuatku merasa nyaman dengan segelas wine yang membasahi bibir yang sudah terlalu lama kering.
Sejak aku menemukannya di kedinginan jalan, Mitha tak pernah sekalipun berpaling dariku. Tubuhnya yang indah untuk sekedar mainan malam, membuatku merasa trenyuh.
Kehidupan metropolitan dengan segala bintangnya telah mengubah hidupku menjadi seorang yang sudah terbiasa dengan kesepian, menikmati senja, berbagi cerita bersama suara berita di televisi.
Namun sejak kehadiran Mitha, wajah penyiar berita cantik idolaku, sudah tidak pernah membuatku tergoda. Aku terlalu sibuk dengan mainan baruku, meskipun hanya sekedar melihatnya terbaring di atas sofa. Â
Sebagai seorang entrepreneur sukses, aku tidak akan membiarkan diriku merasa terhina, seluruh persaingan di proyek, hanya berakhir dengan kemenangan demi kemenangan.
Aku tak sudi mengalah, bahkan untuk masalah perasaan. Dalam kamusku, harta, tahta, dan wanita hanyalah alat untuk berbagi mencapai mimpi.
Namun tidak untuk Mitha, meskipun ia sudah terbiasa terbudak oleh kejamnya kehidupan malam. Ia memiliki sepasang mata berbinar, yang mampu menutupi perjalanan hidupnya yang kelam. Aku menyukainya!
Aku bersumpah akan selalu merahasiakan kehadirannya di tengah garis popularitasku. Bukannya malu, namun Mitha bukan untuk dinikmati bersama-sama.
Lagipula, apalah arti kotoran tubuh jika dibandingkan dengan joroknya batin.
Paling tidak, Monik yang cantik tidak menampakkan kesuciannya di hadapan teman-temanku yang munafik. Bersikap sopan dengan make-up jutaan. Fuihh... Ia hanya menginginkan hartaku.