Sebagai contoh, di Taiwan, jika seroang perempuan lajang meninggal, maka keluarganya akan menaruh bungkusan berwarna merah yang berisikan uang tunai, uang kertas, seikat rambut, dan kuku di tempat terbuka.
Keluarga akan menunggui sampai ada seorang pria lajang yang mengambil bungkusan tersebut. Pria pertama yang mengambil bungkusan, adalah pria yang terpilih sebagai pengantin pria.
Jika ia menolak, maka sangsi akan datang berupa nasib sial dan dihantui oleh arwah sang gadis yang meninggal tersebut. Namun jika ia menerima, maka dengan sendirinya, sang Arjuna akan menjadi bagian dari keluarga wanita.
Jika suatu waktu, sang lelaki memutuskan untuk menikah dengan wanita yang masih hidup, maka ia tetap diberikan kebebasan, dengan syarat harus tetap mengakui bahwa istri arwahnya, adalah istri pertama.
Bagaimana dengan Indonesia?Â
Untungnya sepanjang pengetahuan penulis, dan juga berdasarkan hasil riset dari berbagai sumber berbeda, praktik ini sudah tidak ada pada masyarakat Tionghoa Indonesia.
Namun menurut ayah penulis, dahulu kala, pada saat buyut masih hidup, praktik ini sempat dilakukan oleh beberapa keluarga.
Apakah saat ini masih dijalankan secara rahasia, atau telah berubah dalam bentuk praktik yang berbeda, penulis kurang mengetahuinya.
Akhir Kata.
"Ideologi dasar di balik pernikahan hantu adalah mendiang akan hidup di akhirat, jadi jika seseorang tidak menikah semasa hidupnya, mereka masih dinikahkan setelah kematiannya,"
Bagaimanapun juga, ritual ini memberikan kisah yang berbeda, tentang pandangan universal dari manusia dalam memahami kematian yang masih penuh misteri.
Di satu sisi, manusia selalu berkeinginan untuk memaksakan alam bertindak sebagaimana apa yang mereka yakini, namun disisi lain, alam selalu menunjukkan kuasaNya, terhadap bagaimana sebuah kehidupan harus dijalankan dengan penuh ketulusan.
Pepatah kuno berkata, "Manusia berusaha, namun Tuhanlah yang menentukan."Â Namun, paling tidak "Tradisi pernikahan hantu adalah sebuah kisah yang sangat menyentuh mengenai kegigihan cinta sejati." Ujar Suhu Szeto Fat-Ching, sang Ahli Fengshui.