Di bulan Juni, seorang perempuan bernama Fatimah (45) diterkam buaya di Pulau Tibi, Kabupaten Bulungan. Dari keterangan yang didapat, korban diduga sedang mengisi bibit ikan di pinggiran tambaknya, ketika kejadian berlangsung.
Seekor buaya dengan Panjang sekitar 4,5 meter yang ditemukan tidak jauh dari lokasi tambak, diduga sebagai pelakunya.
Di bulan Juli, seorang pria bernama Ponidi, diterkam buaya dan diseret hingga tenggelam di sungai. Kejadiannya berlangsung di desa Tanjung Pasir, kecamatan Kualuh Selatan, kabupaten Labuhanbatu Utara, Sumatera Selatan.
Awalnya Ponidi beserta anak dan istrinya berencana menuju ke kebun sawit milik mereka yang berada di seberang sungai, namun setibanya di tepi sungai, Ponidi turun untuk menambatkan perahunya. Disaat itulah datang seekor buaya dan menerkamnya.
Di bulan Agustus dua ekor buaya pemangsa ditangkap warga di dua lokasi yang berbeda. Di Sungai Kayu Besi, Kecamatan Puding Besar, Bangka, warga menangkap seekor buaya dengan ukuran 4 meter.
Sementara di Siak, Provinsi Riau, seekor buaya dengan Panjang 6 meter ditangkap oleh warga setempat. Buaya tersebut kemudian dibelah perutnya, untuk mengeluarkan potongan mayat seorang warga yang bernama Safri (55).
Berita buaya memangsa manusia marak mengisi kolom berita. Dalam 3 bulan terakhir, paling tidak sudah ada 3 berita yang berhubungan dengan hewan predator ini.
Namun diantara semua berita penyerangan buaya, belum pernah ada yang lebih mengerikan dari kejadian di tahun 1945, pada saat sekitar ratusan pasukan Jepang diserang buaya di Pulau Ramree, Burma (sekarang Myanmar).
Kejadian dimulai pada saat pihak sekutu melancarkan serangan untuk merebut kembali pulau tersebut, dan membangun lapangan terbang untuk mendukung pertempuran utama di daratan.
Hingga suatu malam di tanggal 19.02.1945, tentara sekutu mendengarkan jeritan-jeritan ketakutan dan surar-suara tembakan yang berasal dari kegelapan rawa-rawa. Tidak jelas apa yang dialami oleh tentara Jepang, namun yang pasti sesuatu yang mengerikan sedang terjadi.
**
Kisah mengerikan ini dituliskan oleh seorang naturalis bernama Bruce Stanley Wright dalam buku terbitan tahun 1962 yang berjudul "Wildlife Sketches Near and Far."
Ia menuliskan, "Malam itu merupakan yang paling mengerikan yang pernah dialami oleh para anggota M.L (marine launch)."Â Kata "marine launch"Â mengacu kepada pasukan darat yang dikirim melalui laut.
"Buaya-buaya tersebut terbangun mendengar keributan peperangan dan bau darah, lalu mereka berkumpul di antara pohon-pohon bakau, menunggu di bawah permukaan air dengan mata menyembul memperhatikan calon santapan mereka."
"Dengan naiknya air pasang, buaya-buaya itu mendekati para prajurit yang sudah tewas, terluka, maupun yang masih hidup dan terjebak dalam lumpur."
**
Rawa-rawa bakau Pulau Ramree merupakan salah satu habitat terbesar dari satu reptil pemangsa yang paling sadis, yaitu buaya air asin. Karena merupakan tempat yang subur, kebanyakan buaya tersebut bisa tumbuh hingga 6 meter dengan berat sekitar 900 kilogram.
Cerita ini menjadi sebuah misteri terbesar sepanjang masa, meskipun masih ada juga pihak yang menyangsikan tulisan Wright pada bukunya.
Salah satunya adalah Franck Mc Lynn yang melakukan penelitian, 20 tahun setelah kisah tersebut dituliskan. Ia bersama timnya yang terdiri dari para sejarahwan dan ilmuwan, menggali arsip militer Inggris dan Jepang.
Beberapa seri wawancara terhadap veteran perang dari kedua belah pihak pun dilakukan, akan tetapi hasil penelitian menyimpulkan bahwa tak satupun yang mengetahui mengenai pembantaian tentara Jepang oleh buaya pulau Ramree.
"Apakah kita benar-benar percaya bahwa pasukan bersenjata Jepang, yang merobek-robek tank dan kendaraan bersenjata Inggris, benar-benar tak berdaya melawan buaya? Lalu tak adakah seorang pun serdadu Jepang yang tewas itu mati karena tembakan pasukan Inggris atau gigitan ular, atau terserang dehidrasi dan penyakit?" tulis McLynn mempertanyakan data-data dari kisah Wright.
Mc Lynn menambahkan, dari perspektif zoologi sederhana saja, dalam sebuah ekositem dengan persaingan yang ketat, tidak memungkinkan buaya hidup dalam jumlah yang begitu besar.
Lebih lanjut ia juga menambahkan, bahwa alam rawa-rawa bakau yang masih jarang tersentuh oleh manusia, seharusnya memiliki suplai rantai makanan yang cukup.
Menyerang tentara jepang sebagai santapan, bukanlah sifat alamiah dari predator jika makanan mereka telah teratasi.
Namun satu hal yang pasti, predator akan menjadi ganas dan menyerang manusia jika ekosistem mereka terganggu. Para buaya harus melakukan sesuatu di luar kebiasaan mereka untuk menyelamatkan diri, termasuk menyerang manusia yang merupakan satu-satunya tersangka sebagai perusak ekositem alam. Â
SalamAngka
Rudy Gunawan, B.A., CPS
Numerolog Pertama di Indonesia -- versi Rekor MURI
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H