Wajar saja pemerintah AS kebakaran jenggot, selain karena virus ini telah menginfeksi sekitar 5 juta warganya, Presiden Donald Trump juga sedang bersibuk ria menyiapkan kampanye nya dalam melawan Joe Biden untuk memperebutkan kursi Presiden AS, periode 4 tahun ke depan.
Namun, apakah Sputnik-V memang sudah layak 'terbang', atau memang masih meragukan, seperti kata para ahli dari dunia barat?
Satelit Sputnik-1Â adalah contoh keberhasilan teknologi dari negeri Beruang Merah ini, namun dalam sejarah, ada sebuah insiden yang cukup memalukan bagi Rusia (ex Uni Soviet) yang terkait dengan perang 'cepat-cepatan'Â dengan pesaingnya, Amerika Serikat.
Adalah kapal selam bertenaga nuklir pertama buatan Uni Soviet yang dilengkapi rudal balistik nuklir, bernama K-19. Pada tahun 1961, perlombaan senjata dengan pihak Amerika menjadi dasar diluncurkannya kapal selam ini.
Akan tetapi yang membuat misi ini sulit untuk dilakukan, karena kapal selam ini diluncurkan dengan menghilangkan sejumlah prosedur penting, akibat desakan dari Perdana Menteri Soviet kala itu, Nikita Khrushcev.
Sebelum diluncurkan saja, pembangunan kapal selam telah menewaskan 10 pekerja dan seorang pelaut akibat kecelakaan dan kebakaran. Namun, atas nama gengsi, semuanya harus berjalan sesuai tenggat waktu.
Apa yang dikhwatirkan terjadi pada tanggal 4 Juli 1961, ketika tekanan dalam sistem pendingin reaktor nuklir turun menjadi 0, dekat pantai Greenland. Hal tersebut akibat adanya kebocoran besar dalam sistem pendingin akibat kegagalan fungsi pompa pendingin yang rusak.
Dalam kepanikan, Zateyev membuat keputusan penting untuk melakukan perbaikan secara manual, sehingga para teknisi harus berada dalam lingkup radiasi yang tinggi untuk waktu yang lama.
Kecelakaan ini membuat misi tidak boleh dijalankan, sehingga Zateyev memutuskan untk menuju ke selatan menemui kapal selam bertenaga diesel S-270 yang berada disana.
Namun ternyata sinyal transmisi S.O.S dari kapal selam K-19 juga ditangkap oleh sebuah kapal perang Amerika Serikat yang kemudian menawarkan bantuan.