Keterangan Gambar:Â Fahri Plus Fadli Minus Felix.
Dalam dunia politik, adalah hal yang wajar jika ada dua sisi yang berseberangan. Pun halnya dari kubu oposisi, ada yang pro kebijakan pemerintah, ada pula yang konsisten melawannya.
Bagaikan siang dan malam, hidup tidaklah lengkap tanpa terang dan gelap. Kehadiran tokoh yang nyeleneh, seperti Fadli dan Fahri dalam pemerintahan Republik ini, seharusnya membawa suasana segar dan perimbangan yang harus ada.
Penghargaan Bintang Mahaputra Nararya oleh presiden Jokowi kepada kedua tokoh ini mengundang polemik. Ketokohan mereka yang kontroversial dengan berbagai pernyataan yang polemis, menjadi penyebab timbulnya pro dan kontra.
Banyak pihak yang mempertanyakan syarat seperti "jasa luar biasa bagi bangsa dan negara, pengorbanan yang besar manfaatnya bagi masyarakat, serta pengakuan luas atas pencapaian itu."
Sebagai hasilnya, pihak-pihak yang tidak puas kemudian melayangkan tuduhan kepada presiden Jokowi, bahwa ia tidak konsisten dalam menghargai siapa kawan dan siapa lawan.
Namun sekali lagi, dunia politik tidak pernah konsisten. Tidak ada musuh abadi, yang ada hanyalah konflik kepentingan sementara.
Bagi penulis sendiri, atraksi politik yang disuguhkan oleh para pelaku, bagaikan menyaksikan film James Bond terbaru. Bisa bayangkan jika tidak ada tokoh antagonis dalam film aksi? Jadinya, James Bond hanyalah penari di atas panggung di antara para gadis JKT-48 yang imut-imut. Bosannn...Â
Pun halnya di Kompasiana, dunianya para blogger. Penduduknya adalah para Kompasianer yang bebas bersuara satu sama lain. Seperti kata Bang Reba Lomeh, "petani picisan seperti saya bisa bercanda lepas dengan kaliber profesor."
Siapapun bisa menjadi warga, cukup dengan melakukan registrasi disini, dan siapapun bisa ditendang, jika melanggar aturan yang berlaku. Tetapi, mereka yang sudah ditendang, masih bisa bergabung kembali dengan identitas baru. Tidak ada hambatan yang berarti.
Sebagaimana sebuah negara, status kewarganegaraan berdasarkan kontribusi juga dinilai. Ada yang sudah mendapatkan verifikasi biru, ada yang baru tervalidasi hijau, dan ada juga yang masih 'warga negara asing' yang belum mendaftarkan diri.
Aktivitas sehari-hari di dunia Kompasiana dapat dilihat dari artikel-artikel baru yang muncul setiap detik. Label Pilihan atau Artikel Utama adalah wewenang para penguasa, tetapi tingkat keterbacaan, nilai tertinggi, dan terpopuler adalah suara dari rakyat. Kedua belah pihak saling bersinergi disini.
Nah, karena dunia Kompasiana adalah sebuah dunia mini dengan ratusan ribu penggemar, maka wajarlah jika aturan sosial politik juga berlaku disini.
Ada yang ingin hidup aman-aman dengan bersikap adem ayem, ada yang pro-penguasa dengan membela setiap aturan yang diterbitkan, tapi tidak sedikit juga yang anti peraturan dengan melantunkan kisah-kisah sedih di hari minggu.
Mereka yang tidak mau biasa-biasa saja, seringkali menebarkan artikel yang mendebarkan jantung. Mulai dari teriakan Kompasiana sepi pengunjung, adanya fasilitas premium yang tidak berdengung, hingga bikin kakek-kakek sakit jantung.
Khusus yang terakhir ini, saya langsung saja menembak rekan Kompasianer Felix Tani. Tanpa tendeng aling-aling, ia bergerilya kesana kemari menyebarkan ideologi 'kenthir' yang dianutnya. Tulisan-tulisannya sering muncul dalam bentuk sindiran keras kepada apapun yang masih berbau umum.
Sang kakek yang sudah tidak berdaya karena sakit jantung pun masih dihasut; "Kalau menulis di Kompasiana itu rugi. Duitnya gak seberapa!"
Sang kakek yang sudah mulai patah hati kemudian dihibur oleh istri tercintanya.
"Eh..." giliran sang nenek yang dibuli; "Masa sih usia 77 tahun bisa bikin 'gigit jari' dan 'banting setir.' Mau taruh dimana tuh wajah Kompasianer Milenial dan Kolonial?" Ini mah provokasi ke seluruh warga Kompasiana namanya.
Sekarang tampaknya beliau sudah sadar, karena sudah menyerempet ke masalah spiritual. Tuduhan nabi kecil kepada seorang Daeng Khrisna yang kebetulan badannya juga kecil, pun dilantunkan dengan keras!
Belum lagi gelar baru Humoris Causa yang dianugrahkan kepada si Poltak, tokoh fiktif buatannya yang gemar jilat-jilat ingus.
Udah stop caci-maki, dasarnya emang saya sakit hati ama si Prof. Felix ini. Mosok "Numerolog dibilang kalah dengan Kuntilanak yang tuna angka."
"Enyah loe sana, Kenthir!!!"
Tapi jika dipikir kembali, apakah Kompasiana memerlukan kehadiran tulisannya? Apakah kita tidak merasa terhibur dengan gayanya yang nyeleneh? Apakah suatu hari nanti, jika ia memutuskan tidak lagi berkarya disini, adakah orang lain yang pantas menggantikannya?
Tentu tidak, meskipun dengan gaya "kenthir" nya yang tidak tahu diri, Felix Tani tetap adalah seorang Kompasianer sejati yang memberikan perbedaan warna di Kompasiana.
Nah, jika suatu saat nanti, beliau mendapatkan penghargaan sebagai "Kompasianer of The Year." Apakah kita akan keberatan?
Bagi penulis sih, siapapun bisa mendapatkan gelar ini, karena pada akhirnya penentuan penghargaan adalah hak prerogatif penguasa Kompasiana.
Yang pasti, tidak adil bagi Felix Tani untuk tidak bisa memenangkan penghargaan ini, hanya karena namanya berawalan F, seperti Fadli dan Fahri.
SalamAngka
Rudy Gunawan, B.A., CPS
Numerolog Pertama di Indonesia -- versi Rekor MURI
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H