Aktivitas sehari-hari di dunia Kompasiana dapat dilihat dari artikel-artikel baru yang muncul setiap detik. Label Pilihan atau Artikel Utama adalah wewenang para penguasa, tetapi tingkat keterbacaan, nilai tertinggi, dan terpopuler adalah suara dari rakyat. Kedua belah pihak saling bersinergi disini.
Nah, karena dunia Kompasiana adalah sebuah dunia mini dengan ratusan ribu penggemar, maka wajarlah jika aturan sosial politik juga berlaku disini.
Ada yang ingin hidup aman-aman dengan bersikap adem ayem, ada yang pro-penguasa dengan membela setiap aturan yang diterbitkan, tapi tidak sedikit juga yang anti peraturan dengan melantunkan kisah-kisah sedih di hari minggu.
Mereka yang tidak mau biasa-biasa saja, seringkali menebarkan artikel yang mendebarkan jantung. Mulai dari teriakan Kompasiana sepi pengunjung, adanya fasilitas premium yang tidak berdengung, hingga bikin kakek-kakek sakit jantung.
Khusus yang terakhir ini, saya langsung saja menembak rekan Kompasianer Felix Tani. Tanpa tendeng aling-aling, ia bergerilya kesana kemari menyebarkan ideologi 'kenthir' yang dianutnya. Tulisan-tulisannya sering muncul dalam bentuk sindiran keras kepada apapun yang masih berbau umum.
Sang kakek yang sudah tidak berdaya karena sakit jantung pun masih dihasut; "Kalau menulis di Kompasiana itu rugi. Duitnya gak seberapa!"
Sang kakek yang sudah mulai patah hati kemudian dihibur oleh istri tercintanya.
"Eh..." giliran sang nenek yang dibuli; "Masa sih usia 77 tahun bisa bikin 'gigit jari' dan 'banting setir.' Mau taruh dimana tuh wajah Kompasianer Milenial dan Kolonial?" Ini mah provokasi ke seluruh warga Kompasiana namanya.
Sekarang tampaknya beliau sudah sadar, karena sudah menyerempet ke masalah spiritual. Tuduhan nabi kecil kepada seorang Daeng Khrisna yang kebetulan badannya juga kecil, pun dilantunkan dengan keras!
Belum lagi gelar baru Humoris Causa yang dianugrahkan kepada si Poltak, tokoh fiktif buatannya yang gemar jilat-jilat ingus.
Udah stop caci-maki, dasarnya emang saya sakit hati ama si Prof. Felix ini. Mosok "Numerolog dibilang kalah dengan Kuntilanak yang tuna angka."