Mohon tunggu...
Acek Rudy
Acek Rudy Mohon Tunggu... Konsultan - Palu Gada

Entrepreneur, Certified Public Speaker, Blogger, Author, Numerologist. Mua-muanya Dah.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Utang Piutang dalam Perspektif Dunia Ghaib

12 Agustus 2020   09:43 Diperbarui: 12 Agustus 2020   09:46 418
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi Utang (sumber: bostonmagazine.com)

Kita hidup di dunia nyata yang dapat disentuh melalui ke-5 panca indra, dan dapat diproses dengan nalar berlogika. Kita dengan mudah melabeli segala sesuatu yang tidak kasat mata dan jauh dari rasionalitas berpikir sebagai hal ghaib.

Oleh sebab itu, alam ghaib tiada bedanya dengan dunia spiritual. Tidak perlu ditelusuri terlalu jauh, cukup dirasakan saja sudah membuat kuduk merinding.

Penghuni dunia ghaib juga tidak semuanya jahat. Ada para jin dan malaikat yang senang membantu manusia. Bedanya, masing-masing memiliki perspektif tersendiri dalam memberikan makna terhadap "bantuan."

Pun halnya dengan dunia utang-piutang, ajaran agama apapun tidak mengharamkan seseorang mengutang atau memberikan pinjaman.

Yang salah bilamana pinjaman dikenakan riba yang tinggi, hingga membuat hidup menderita. Demikian juga bilamana harta atau benda yang dipinjam, tidak dikembalikan.

Di dunia nyata, kita mengenal produk pinjaman yang bisa diberikan oleh bank resmi, hingga para rentenir ahli.

Berhubungan dengan utang adalah hal yang ngeri-ngeri sedap. Kalau salah sedikit, yang diharapkan menyelamatkan, justru akhirnya menjerumuskan.

Kita akan terselamatkan bilamana utang yang dipinjam, dapat dikelola dengan baik untuk menjadi keuntungan, namun dalam banyak kasus, utang yang didapatkan justru semakin melilit.

Jika utang sudah tidak terbayar, maka menyelesaikannya bisa dengan berbagai cara, mulai dari menjual asset, menjual diri, atau syukur-syukur ada yang rela membantu tanpa mengharapkan imbalan.

Pun halnya dengan produk dunia ghaib versi setan. Kita pernah mendengar mengenai pesugihan yang konon harus dibayar dengan darah, atau pelet yang bisa membuat manusia berbinar-binar bening, namun bayarannya adalah berdampingan di api neraka.

Intinya, setan dengan segala "kuasanya" akan menggunakan produk ini untuk menjebak manusia dalam utang yang tidak bisa terbayar.

Sayangnya, bilamana seseorang sudah terjebak perjanjian dengan setan, sang malaikat yang seharusnya tampil sebagai juru selamat juga enggan melakukan intervensi,

Sang malaikat berprinsip, "loe yang ngutang, mosok gue yang bayar. Makan tuh riba."

Padahal jika dipikir, apa sih yang tidak bisa dilakukan oleh malaikat dengan segala kesaktiannya? Ternyata, malaikat juga tidak mau membantu, karena ia pun sebenarnya memilliki produk pinjaman yang tidak bisa diintervensi oleh para setan.

Semacam kode etik dalam dunia perbankan, jika anda sudah meminjam dari Bank A, maka anda harus melunasinya sebelum pindah ke Bank B. Atau bisa juga dengan cara ringkas, semacam pengalihan pinjaman. 

Akan tetapi, pengalihan pinjaman bukan berarti utang lama akan hilang seketika. Anda harus berhadapan dengan tuan baru sebagai pemilik pinjaman. Tidak ada yang beda disini, utang plus bunga-bunganya tetap harus dibayar. 

Apa saja produk pinjaman dari malaikat? Sadar gak sih, sebelum kita tergoda untuk terlibat dalam produk pinjaman ala setan, kita sebenarnya sudah berutang pada malaikat sejak kita lahir di dunia ini.

Kenapa kita lahir? Mengapa kita menikmati kehidupan? Darimana kita mendapatkan seluruh fasilitas di dunia saat ini? Siapa lagi kalau bukan sang Pencipta, yang tidak lain adalah bos dari para malaikat itu sendiri.

Namun pinjaman yang diberikan oleh Tuhan ini sebenarnya cukup ringan. Bagaikan pinjaman dari bank resmi yang cukup wajar, dibandingkan dengan pinjaman tidak masuk akal dari para rentenir.

Kita hanya perlu menjalankan kehidupan sesuai dengan amal-ibadah menurut standar sang Big-Boss.

Sayangnya cicilan yang ringan membuat kita sering lupa untuk membayarnya, atau lebih parah lagi, kita lupa jika sedang berutang, padahal "Tidak ada yang gratis di dunia ini."

Jika hal ini terjadi, maka para malaikat akan bertindak sebagai juru tagih yang datang sesekali untuk mengingatkan kita membayar bunga dan pokok.

Sudah berdoa? Sudah melakukan zakat? Sudah berbuat baik?

Nah, apa yang terjadi jika kita tetap ngotot tidak membayar cicilan bunga dan pokok? Ternyata resikonya sungguh besar.

Seluruh permasalahan dalam hidup adalah denda yang harus dibayar. Duit ludes, istri dibawa kabur, anak jadi durhaka, dan lain sebagainya.

Pada saat itulah baru kita sadar, "Tuhan telah menegur kita, karena lupa bayar utang." Pada titik ini, barulah kita minta maaf, dan berjanji untuk tidak melakukannya lagi.

Tetapi jika semuanya sudah terlanjur, dan kita utang yang dibayar ternyata melebihi kemampuan kita, disanalah saatnya menyalahkan Tuhan.

Tibalah waktunya kita tergoda dengan produk pinjaman yang digunakan oleh pesaing yang merebut istri kita, "sepertinya pelet bisa dipertimbangkan untuk mendapatkan istri baru yang masih segar."

Akhirnya, tidak bisa dibayangkan. Kasus utang-piutang yang awalnya cukup sederhana, membuat kita terjebak dalam pusaran utang baru yang lebih mengerikan lagi.

Kesimpulannya, kehidupan sudah memberikan contoh bahwa pada dasarnya kita memang hidup dari utang-piutang. Pinjaman bukan saja dalam bentuk materi, namun juga jasa dari orangtua, dukungan dari keluarga, hingga kewajiban untuk membesarkan anak-cucu.

Yang perlu kita lakukan adalah disiplin menjalankan hidup dengan sadar diri untuk selalu membayar utang. Pada saat kita terlena, disanalah saatnya kita akan hidup menderita dalam pusaran utang-piutang yang tidak akan pernah berakhir.

Semoga bermanfaat.

SalamAngka

Rudy Gunawan, B.A., CPS
Numerolog Pertama di Indonesia -- versi Rekor MURI

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun