Akhir-akhir ini, semakin banyak perbincangan yang terjadi mengenai gelombang kedua covid. Katanya sih, analisis ini berdasarkan data empiris dari Flu Spanyol (1918).
Konon gelombang kedua akan lebih ganas dari pandemi pertama. Pun dilansir dari Kompas.com, dalam rapat terbatas terkait postur APBN, di Istana Bogor, Selasa (28.07.2020), presiden Jokowi mengatakan,
"Kita tetap harus waspada kemungkinan dan antisipasi kita terhadap risiko terjadinya gelombang kedua, second wave, dan masih berlanjutnya sekali lagi ketidakpastian ekonomi global di tahun 2021."
Oke, kita memang harus mewaspadai gelombang kedua, tapi, apa kita benar-benar paham dengan istilah second wave ini?
Analoginya sih adalah ombak, atau dalam kasus bencana alam, adalah gelombang Tsunami. Kalau Tsunami, jelas mudah terlihat, ombaknya ada, korbannya ada.
Namun bagaimana mengidentifikasi gelombang pandemi? Apakah saat ini kita masih diterpa gelombang pertama? Atau mungkinkah sudah lewat? Atau jangan-jangan sekarang kita malah sudah berada pada gelombang kedua, ketiga, bahkan keempat?
Menurut Mike Tildesley, akademisi University of Warwick, Inggris, "Tidak ada istilah formal untuk hal ini, anda bisa mendefinisikannya sendiri berdasarkan terminologi gelombang, ini bukan sesuatu yang sangat ilmiah."
Sejumlah kalangan juga mengatakan bahwa gelombang kedua terjadi jika sudah ada tidak ada kasus baru selama beberapa hari, namun kemudian muncul kembali. China dan Australia, termasuk dalam kategori ini.
Namun ada juga yang mengatakan bahwa gelombang kedua bisa dikatakan muncul, jika jumlah kasus positif kerap naik dan turun secara konsisten, seperti halnya di Amerika Serikat.
Pelonggaran PSBB untuk alasan ekonomi serta adanya klaster baru akibat kasus impor atau pertemuan publik, ditenggarai sebagai penyebab utama dari gelombang kedua Covid.
Vietnam telah menjalani 3 bulan tanpa kasus baru, namun semuanya menjadi ambyar ketika muncul 80 kasus baru di kota Da Nang. Zelandia baru menjalani 24 hari tanpa infkesi baru, juga harus melakukan lockdown selama 6 minggu, akibat klaster baru dari sebuah rumah makan Thailand. Â
Hong Kong bahkan telah memasuki gelombang ketiga, sejak kasus pertama yang dilaporkan pada bulan Januari. Setelah berhasil menanganinya, gelombang kedua muncul akibat kasus impor dari warga yang kembali dari luar negeri.
Pelonggaran PSBB dan pengecualian karantina bagi pelaku ekonomi dan awak penerbangan internasional, menjadi inisiasi dari gelombang ketiga. Terjadi begitu saja, setelah negara memutuskan bahwa ekonomi harus berjalan.
Berdasarkan penjelasan ini, apakah Indonesia sudah masuk dalam periode second wave? Menurut Dr. Tidesley, gelombang kedua dikatakan terjadi jika sebuah negara telah melaporkan tidak adanya penambahan baru untuk minimal beberapa hari, dan penyebaran lokal sudah dapat terkontrol dengan baik.
Dari defenisi ini, tentunya Indonesia masih berada pada gelombang pertama. Nah, pertanyaannya, apakah Indonesia harus mewaspadai gelombang kedua, seperti kata presiden Jokowi?
Menurut dokter spesialis paru-paru dari RSUP Persahabatan, dr. Budhi Antariksa, Ph.D., Sp.P(K)., Indonesia masih terjebak dalam gelombang pertama Corona. Secara teori, untuk memasuki gelombang kedua, maka jumlah kasus infeksi Covid-19 harus turun mendekati angka nol terlebih dahulu.
Saat ini, angka infeksi belum kelihatan landai, hingga dapat dikatakan bahwa kita masih berjibaku dengan virus yang satu ini, pada gelombang yang sama.
Memang ada juga pengamat yang mengatakan bahwa jika kasus positif terus meningkat tanpa henti, maka gelombang kedua sudah terjadi. Namun, bagaimana menentukan defenisi "meningkat tanpa henti?" Apakah sekarang, bulan depan, atau bahkan tahun depan?
Mari kita lihat fakta yang terjadi;
Sejumlah negara membuktikan, kasus penularan berhasil ditekan dengan melakukan pembatasan jarak sosial hingga lockdown di seluruh negara. Ini sebenarnya merupakan cerita lama yang marak terjadi di bulan Maret.
Indonesia sendiri, tidak mengambil langkah tersebut, karena PSBB yang diberlakukan masih bergantung kepada Kepala Daerah masing-masing, berdasarkan urgensi lokal.
Itupun tidak diberlakukan secara maksimal, karena kita masih melihat banyaknya pelanggaran yang terjadi akibat kurangnya disiplin. Dengan demikian, maka kasus nol infeksi akan terasa sangat sulit digapai.
Laporan dari adanya kasus impor disebut sebagai penyebab gelombang kedua. Memang jumlah wisatawan di Indonesia semakin menurun, namun bukan karena larangan, tapi karena ketakutan.
Namun "impor" dalam hal ini, tidak saja harus berarti dari luar negeri. Menurut Ketua Tim Pakar Gugus Tugas Corona, Wiku Adisasmito, "per 28 Juni, ada 99 kabupaten/kota yang tidak terdampak atau tercatat tidak ada kasus baru."
Sayangnya kabupaten/kota tersebut masih bercampur dengan dengan daerah berzona merah, yang dengan mudah dapat dijangkau melalui perjalanan darat tanpa pengawasan.
PSBB dimaksudkan agar kasus infeksi dapat teratasi dengan baik. Akan tetapi, di beberapa daerah, pelaksanaan PSBB hanya diberlakukan layaknya upacara bendera di senin pagi.
Tidak ada tanda-tanda penurunan, dan demi alasan perut, akhirnya dilonggarkan kembali. Lha, empat minggu itu untuk apa? Istirahat percuma, kerjaan morat-marit, kasus covid tidak teratasi.
Bagaimana dengan klaster baru? Sepertinya sudah terjadi dimana-mana dan kita hanya perlu menunggu saja. Perkembangan terakhir mengatakan bahwa perkantoran di Jakarta sudah menjadi klaster terkini.
Ini belum termasuk banyaknya mobilisasi, pertemuan publik, hingga perayaan-perayaan besar, yang akan membuat klaster baru tumbuh subur bagai jamur di musim gugur.
Dengan fakta-fakta ini, apakah kita masih perlu mewaspadai gelombang kedua, seperti apa kata Jokowi? Rasanya sih, sudah tidak relevan lagi, karena Indonesia akan menjadi lahan produktif bagi covid.
Tulisan ini tidak bermaksud untuk menyesali keadaan atau mengkritik pemerintah. Menurut penulis, setiap kondisi akan terbentuk sesuai dengan wadahnya.
Jika Indonesia menerima fakta ini, maka mungkin sudah seharusnya kita berbenah diri, menjadikan corona sebagai identitas terpatri, dengan tetap menjalani kehidupan normal sehari-hari.
Bukankah bangsa Indonesia adalah bangsa yang sudah teruji? Tak ada satupun bangsa di dunia ini yang memiliki kemampuan memaafkan dan melupakan sebaik kita.
Marilah kita tertawa dan bercanda di atas gelombang covid yang akan terasa panjangggg sekaliiiiii... Â
SalamAngka
Rudy Gunawan, B.A., CPS
Numerolog Pertama di Indonesia -- versi Rekor MURI
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H