Laporan dari adanya kasus impor disebut sebagai penyebab gelombang kedua. Memang jumlah wisatawan di Indonesia semakin menurun, namun bukan karena larangan, tapi karena ketakutan.
Namun "impor" dalam hal ini, tidak saja harus berarti dari luar negeri. Menurut Ketua Tim Pakar Gugus Tugas Corona, Wiku Adisasmito, "per 28 Juni, ada 99 kabupaten/kota yang tidak terdampak atau tercatat tidak ada kasus baru."
Sayangnya kabupaten/kota tersebut masih bercampur dengan dengan daerah berzona merah, yang dengan mudah dapat dijangkau melalui perjalanan darat tanpa pengawasan.
PSBB dimaksudkan agar kasus infeksi dapat teratasi dengan baik. Akan tetapi, di beberapa daerah, pelaksanaan PSBB hanya diberlakukan layaknya upacara bendera di senin pagi.
Tidak ada tanda-tanda penurunan, dan demi alasan perut, akhirnya dilonggarkan kembali. Lha, empat minggu itu untuk apa? Istirahat percuma, kerjaan morat-marit, kasus covid tidak teratasi.
Bagaimana dengan klaster baru? Sepertinya sudah terjadi dimana-mana dan kita hanya perlu menunggu saja. Perkembangan terakhir mengatakan bahwa perkantoran di Jakarta sudah menjadi klaster terkini.
Ini belum termasuk banyaknya mobilisasi, pertemuan publik, hingga perayaan-perayaan besar, yang akan membuat klaster baru tumbuh subur bagai jamur di musim gugur.
Dengan fakta-fakta ini, apakah kita masih perlu mewaspadai gelombang kedua, seperti apa kata Jokowi? Rasanya sih, sudah tidak relevan lagi, karena Indonesia akan menjadi lahan produktif bagi covid.
Tulisan ini tidak bermaksud untuk menyesali keadaan atau mengkritik pemerintah. Menurut penulis, setiap kondisi akan terbentuk sesuai dengan wadahnya.
Jika Indonesia menerima fakta ini, maka mungkin sudah seharusnya kita berbenah diri, menjadikan corona sebagai identitas terpatri, dengan tetap menjalani kehidupan normal sehari-hari.
Bukankah bangsa Indonesia adalah bangsa yang sudah teruji? Tak ada satupun bangsa di dunia ini yang memiliki kemampuan memaafkan dan melupakan sebaik kita.