Sagala, Arifin, dan Hasan, adalah mahasiswa dari program Nampo Tokubetsu Ryugakusei, yang merupakan program dari pemerintah Jepang untuk memberikan kesempatan kepada anak-anak muda di wilayah pendudukan di Asia Tenggara untuk belajar di Jepang.
Ada dua gelombang keberangkatan, yang pertama pada tahun 1943, dan meloloskan 23 orang yang disebar di beberapa kota di Jepang. Sagala, Arifin, dan Hasan termasuk gelombang kedua yang ditempatkan di Hiroshima, bergabung bersama Sukristo Sastrowarsito dan Sam Suhaedi yang sebelumnya termasuk pada gelombang pertama.
Pada saat kejadian, Sukristo dan Sam tidak berada di Hiroshima, karena sedang mengikuti program pelatihan di luar kota. Naas bagi Sagala dan kawan-kawannya yang harus berada di kota Hiroshima pada saat kejadian.
**
Arifin membuka matanya, dan melihat kabut hitam reruntuhan bangunan dan debu di sekelilingnya. Ia melihat Hasan dan dua kawan dari Malaya masih hidup. Setelah tenaga mereka memulih, mereka keluar dari jendela. Entah bagaimana nasib si dosen tua.
Pemandangan miris terlihat sepanjang jalan menuju ke asrama mereka. Bangunan-bangunan roboh, pepohonan meranggas, orang-orang luntang-lantung ke berbagai jurusan.
"Ada ada yang berlumuran darah, ada yang bajunya compang-camping, bahkan ada yang bajunya hangus terbakar," terang Arifin.
**
Sagala terjaga dan mendapati dirinya terhimpit puing bangunan asrama. Ia merasa pusing dan pengap, serta menganggap dirinya sudah mendekati ajal. Hanya bayangan ibunya di kampung yang dapat membuatnya bertahan.
Ia termasuk beruntung, karena bangunan yang roboh tidak menimpa dirinya langsung, sehingga hanya mengalami luka ringan saja. Tak lama setelah itu, dua orang kawannya datang menolong dirinya dari reruntuhan.
Kemanusiaan tidak mengenal suku, agama, maupun ras. Mahasiswa Indonesia yang selamat, tidak begitu saja berdiam diri. Setelah memindahkan Sagala ke tepi sungai dekat asrama, mereka melanjutkan untuk menyelamatkan siapapun yang bisa diselamatkan.