Mohon tunggu...
Acek Rudy
Acek Rudy Mohon Tunggu... Konsultan - Palu Gada

Entrepreneur, Certified Public Speaker, Blogger, Author, Numerologist. Mua-muanya Dah.

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan Pilihan

Kippumjo yang Masih Berusia 13, hingga Tentara Wanita, Kisah Pelecehan Seksual di Korea-Utara

26 Juli 2020   11:17 Diperbarui: 28 Juli 2020   09:40 1496
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi Pelecehan Seksual Di Korea Utara (sumber: popbela.com)

"Komandan kompi biasanya akan tinggal di kamarnya di unit, setelah berjam-jam memperkosa tentara wanita di bawah komandonya, ini akan terjadi berulang tanpa akhir."

Ini adalah pengakuan dari seorang wanita mantan anggota Tentara Pembebasan Rakyat Korea Utara, Lee So-Yeon.

Kisah So-Yeon yang telah mengabdi di militer Korut, selama hampir satu dekade ini telah menarik perhatian dunia, bagaimana penindasan terhadap kaum wanita marak terjadi di dunia militer.

Korut adalah negara yang sangat terobsesi dengan kekuatan militer. Selain menerapkan wajib militer bagi pria, tidak sedikit juga kaum wanita yang direkrut sebagai personel militer.

Jumlah ini meningkat tajam pada tahun 2015, sejak Kim Jong-Un memberikan mandat untuk menambah personel wanita untuk mengabdi selama 7 tahun, mulai dari usia 18 hingga 25 tahun.

Didorong dengan berbagai motif, para wanita di Korea Utara pun berbondong-bondong memenuhi mandat dari sang pemimpin tertingginya tersebut.

Di saat inilah mereka akan mulai merasakan neraka.

Menurut So-Yeon, ia mendaftar secara sukarela sebagai personel militer di usia 17 tahun. Ia ditempatkan di dalam barak tentara dan tidur di ranjang susun. Selama itu ia harus bisa bertahan dengan tidur beralaskan sekam padi dan diselimuti bau tidak sedap.

Bukan hanya itu saja, ransum yang disediakan bagi mereka hanyalah gabungan nasi dan potongan jagung. Permen dan daging bisa dinikmati, namun hanya pada hari perayaan tertentu saja.

Lebih lanjut, So-Yeon mengatakan pada umumnya para personel militer wanita ini dapat menjalankan tugasnya dengan baik, namun buruknya kondisi dan gizi membuat mereka sering kelelahan dan jatuh sakit.

Saking buruknya, banyak di antara mereka yang akhirnya berhenti menstruasi hingga akhirnya tidak dapat lagi memiliki keturunan. Namun sepertinya hal ini menjadi sebuah berkah di kamp militer Korut.

Sebabnya para tentara wanita hanya boleh memiliki dan menggunakan satu pembalut saja selama masa mentruasi. So-Yeon mengatakan kepada sumber bahwa mereka harus bangun malam hari untuk mencuci pembalut yang terbuat dari kapas secara sembunyi-sembunyi.

"Setelah enam bulan sampai satu tahun kami hidup di barak, kami tidak bisa menstruasi karena kekurangan gizi, dan tinggal di lingkungan yang penuh tekanan," katanya.

"Para prajurit wanita mengatakan bahwa mereka senang tidak mengalami menstruasi, tetapi itu hal buruk, tetapi jika mereka mengalami menstruasi itu juga sangat buruk," jelasnya

Tidak ada perbedaan tugas dan latihan militer bagi pria dan wanita di Korea Utara. Kondisi latihan yang ketat, serta hukuman ala militer berlaku sama bagi seluruh personel.

Perbedaannya, hanya terjadi pada pelecehan seksual yang seringkali dialami oleh para tentara wanita. Mereka sering menjadi obyek pemerkosaan oleh para komandan lelaki yang mengawasinya.

Meskipun So-Yeon mengaku bahwa selama menjadi tentara, dirinya tidak pernah diperkosa, namun ia terlalu sering melihat nasib kawan-kawan lainnya yang harus melayani komandannya di ranjang sendiri.

Korea Utara yang memiliki budaya patriarki yang tinggi, seringkali menjadikan wanita sebagai obyek seksual.

"Kami diperlakukan seperti mainan. Kami manusia. Kami bisa merasakannya. Kadang, kami menangis tanpa tahu kenapa," ungkap Oh Jung-Hee, seorang pembelot yang mengisahkan pengalamannya.

Ia mengatakan saking banyaknya pelecehan seksual yang terjadi di Korea Utara, hingga warga menganggapnya bukan masalah serius lagi.

Kisah dari Jung-Hee ini terangkum dalam laporan terbaru Human Rights Watch (HRW) yang dirilis pada tanggal 01.11.2018, yang merupakan kumpulan dari wawancara 54 wanita Korut yang melarikan diri sejak Kim Jong-Un berkuasa.

Meskipun pemerintah Korut memberlakukan hukuman 7 tahun penjara bagi para pemerkosa, namun hal tersebut tidak berlaku bagi para pejabat dan orang penting.

Bagi kaum elit, jika ia telah memilih wanita yang disukai, maka mereka tak punya pilihan lain selain mematuhinya demi mendapatkan uang, bantuan, atau hanya sekedar tidak dipersulit.

Heo Jong-Hae, mantan polisi di Korut juga berkata bahwa 90 persen wanita yang ia kenal pernah dilecehkan. Ia mengatakan bahwa seorang kawannya hampir bunuh diri, ketika diperkosa pada saat berusia 17 tahun di pagi hari buta ketika hendak berangkat kerja.

Para wanita yang menjadi korban, akhirnya tidak pernah mengangkat kasusnya. Kemungkinannya adalah mereka menganggap bahwa hal tersebut umum terjadi, atau dipersulit pada saat melapor kepada pihak berwajib.

Banyak diantara mereka yang kemudian memilih profesi yang dapat menjaga dirinya. Menjadi polisi dan tentara adalah salah satunya, namun sayangnya, hal tersebut tidak pernah membuat mereka betul-betul terbebas dari pelecehan seksual.

Direktur Eksekutif HRW, Kenneth Roth menuturkan bahwa setelah laporan itu keluar, Pyongyang tentu tidak bisa lagi memungkiri. Ia juga mengatakan bahwa Kim Jong-Un sebagai pemimpin tertinggi seharusnya bisa menghentikannya.

Namun harapan Roth sepertinya harus dikubur jauh-jauh, karena sejak zaman Kim Il-Sung, telah terbentuk sebuah pasukan "militer" yang terdiri dari para gadis muda dan cantik.

Pasukan ini bernama Kippumjo, atau Regu Kesenangan Perempuan (Pleasure Squad).

Dari luar, para gadis tersebut bertugas sebagai penyanyi dan penari untuk menghibur kaum elit pemerintahan dan para tamu kehormatan. Namun di balik tembok, mereka adalah bagian dari permainan seks dan pesta pora.

Isu ini sebenarnya sudah merebak sejak dulu, namun menjadi lebih jelas ketika pada tahun 2010, seorang pembelot yang bernama Mi Hyang mengungkapkan kisahnya yang direkrut selama dua tahun di usianya yang masih 15 tahun.

"Mereka memeriksa semua siswa perempuan dan menyisihkan beberapa dari mereka termasuk saya. Saya ditanya apakah pernah tidur dengan anak laki-laki. Saya merasa sangat malu mendengar pertanyaan seperti itu," ujarnya.

Proses rekrutmen langsung dilakukan di sekolah-sekolah menengah seluruh penjuru negeri, beberapa dari gadis yang direkrut bahkan masih berusia 13 tahun.

Salah satu syarat utama, selain kecantikan dan tinggi badan, adalah sang gadis haruslah masih perawan. Mereka diwajibkan untuk mengikuti wawancara dan proses pemeriksaan medis.

Hal ini senada dengan pesan Kim Il-Sung, sebagai pendiri bangsa bahwa "berhubungan seks dengan gadis yang masih perawan dapat menyerap energi Ki atau kekuatan hidup seorang gadis."

Penjelasan yang diberikan kepada pihak keluarga yang tidak bisa menolak, adalah menjalankan "misi penting" bagi pemimpin Kim dan negara.

Namun dalam kenyataannya, beberapa dari mereka ditempatkan sebagai pembantu rumah tangga, sekaligus penghibur nafsu syahwat bagi "tuannya."

Gadis-gadis tersebut akan disimpan di rumah-rumah para pemimpin partai dan melakukan apa pun yang diperintahkan.

Kippumjo membagi para gadis menjadi beberapa divisi berbeda. Beberapa memiliki tugas utama sebagai penyanyi dan penari, beberapa lagi dikirim ke luar negeri untuk pelatihan, sementara ada yang ditempatkan pada divisi Manjokjo yang hanya khusus bertugas sebagai pekerja seks.

Pada tahun 2010, pleasure squad sempat dibubarkan ketika Kim Jong-Il meninggal. Hal itu dilakukan oleh Kim Jong-Un yang tidak memercayai siapapun yang berada dalam lingkar kekuasaan ayahnya, termasuk para wanita penghibur. Tidak tertutup kemungkinan, beberapa dari mereka bahkan juga dieksekusi mati bersama "tuannya."

Namun pada tahun 2015, Kim Jong-Un kembali berburu para gadis muda di seluruh pelosok negeri untuk menghidupkan pasukan Kippumjo bentukannya sendiri.

Para gadis dan keluarganya diberi imbalan sekitar 4,000 US dollar dan berbagai peralatan listrik sebagai kompensasi selama pengabdian sebagai gadis pemuas nafsu, hingga mereka berusia 25 tahun.

Bagi warga Korea Utara yang dilanda kemiskinan, jumlah tersebut sangatlah besar, namun masih kurang berharga jika dibandingkan betapa pentingnya menjadi bagian dari kenistaan Kim Jong-Un dan kroni-kroninya.

Referensi: 1 2 3 4 5

SalamAngka

Rudy Gunawan, B.A., CPS

Numerolog Pertama di Indonesia -- versi Rekor MURI

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun