Mohon tunggu...
Acek Rudy
Acek Rudy Mohon Tunggu... Konsultan - Palu Gada

Entrepreneur, Certified Public Speaker, Blogger, Author, Numerologist. Mua-muanya Dah.

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Pemilu 2020 Singapura, Akankah Akhir dari Keluarga Lee atau Menyaingi Korea Utara?

30 Juni 2020   22:58 Diperbarui: 30 Juni 2020   23:07 1195
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Mungkin banyak hal yang terlupakan di tengah pandemi, termasuk pemilihan umum (pilihan raya) di negeri tetangga Singapura.

Membosankan mungkin kata yang tepat, sebabnya negeri tetangga ini terkenal dengan prahara politik yang itu-itu saja, alias "apa kata keluarga Lee"

Namun pada even besar tahun 2020 yang diadakan 5 tahun sekali ini, telah membawa sedikit turbulensi bagi negaranya.

Seperti yang kita ketahui bersama, Lee Kuan Yew adalah tokoh sentral negeri singa ini, sebagai bapak pendiri bangsa dan juga Perdana Menteri pertama yang berkuasa selama 31 tahun (1958-1990).

Lee Kun Yew dilantik sebagai Perdana Menteri pada tanggal 5 Juni 1959 melalui Partai Aksi Rakyat (PAP) yang mendukungnya.

Sejak dilantik, ia mulai membangun, mengadakan pembaruan dan reformasi di berbagai bidang untuk rakyatnya dan juga mencanangkan Federasi Malaysia yang beranggotakan Malaya, Singapura, Sabah, dan Serawak.

Melalui referendum yang menghasilkan 70% dukungan rakyat yang memilih bergabung dengan Malaya, terbentuklah Federasi Malaysia pada tahun 1963.

Namun sayangnya, nasib berkata lain setelah partai penguasa di Malaya, Organisasi Malaya Bersatu (UMNO) merasa khwatir dengan pengaruh Partai Aksi Rakyat (PAP) yang mulai menembus Malaya dan menjamurnya etnis Tionghoa di negara mereka.

Ketegangan mulai memuncak setelah terjadi bentrokan antar etnis Malaya dan Tionghoa pada tahun 1964 yang menewaskan 23 orang. Kolega Lee di Malaysia kemudian mendesak agar Singapura harus secepatnya memisahkan diri dari federasi.

Lee menolak desakan tersebut karena masih memercayai semangat multi-rasialisme, namun mimpinya akhirnya ambyar setelah pada tanggal 07.08.1965, Singapura resmi berpisah dengan Federasi Malaysia.

"Bagi saya, momen ini sangatlah menyesakkan. Sebab, sejak awal saya percaya akan persatuan kedua negara." Ujar Lee sambil berlinang air mata.

Perpisahan itu menimbulkan masalah baru bagi Singapura yang tidak memiliki sumber daya alam dan sistem pertahanan militer. Lee senior kemudian mengadopsi sistem militer Israel dan mengubah Singapura menjadi negara industri.

Dalam kurun beberapa tahun saja, ia telah berhasil mengubah Singapura dari negara dunia ketiga menjadi negara dengan kekuatan ekonomi besar di Asia. Ia juga berhasil memakmurkan rakyatnya dengan berbagai reformasi di bidang pelayanan publik dan menciptakan lapangan kerja baru bagi rakyatnya.

Sejak saat itu, dominasi Lee Kuan Yew tak terbendung dan PAP menguasai hampir seluruh kursi di parlemen pada pemilihan umum tahun 1968, 1972, dan 1980.

Ia kemudian mengundurkan diri pada tahun 1990, dan digantikan oleh koleganya dari PAP, Go Chok Tong. Barulah pada tahun 2004, putra sulung yang telah dipersiapkannya kembali menjadi pucuk pimpinan tertinggi negeri singa itu hingga kini.

Pemilu 5 tahun sekali akan kembali digelar pada tanggal 10 Juli 2020 ini, namun suhu politik terasa lebih tajam dari biasanya. Pasalnya, Lee Hsien Yang yang merupakan adik kandung dari PM Lee Hsien Loong telah menyatakan dukungan kepada partai oposisi Partai Singapura Maju (PSP).

Keputusan Lee Hsien Yang jelas merupakan sebuah ancaman bagi partai pendukung pemerintah, karena statusnya sebagai saudara dari Perdana Menteri aktif dan juga anak dari bapak pendiri Singapura, Lee Kuan Yew.

Ditenggarai dari berbagai sumber, keputusan Lee Hsien Yang berasal dari konflik keluarga yang telah terjadi dalam beberapa tahun belakangan ini.

Salah satunya yang memuncak adalah konflik rumah warisan Lee Kuan Yew yang berlokasi di 38 Oxley Road. Pasalnya Lee Hsien Yang dan kakak perempuannya Lee Wei Ling mengatakan, Lee Kuan Yew telah berpesan agar rumah tersebut dihancurkan setelah ia wafat agar tak dijadikan sarana pengkultusan terhadap dirinya.

Namun menurut mereka, PM Lee Hsien Loong menyangkal pesan ayahnya, dengan berbohong di depan parlemen bahwa Lee senior "mempertimbangkan kembali rencana merobohkan rumah itu," dan berniat menjadikan rumah tersebut sebagai monumen untuk memuluskan karir politik keluarganya.

Mereka juga menuding sang kakak telah menyalahgunakan kekuasaan dan pengaruhnya di pemerintahan demi agenda pribadinya untuk mengorbitkan putranya Lee Hong Yi sebagai penerusnya.

Pertikaian rumah warisan ini sebenarnya bukan yang pertama kali. Pada tahun 2016, Lee Wei Lin yang merupakan kepala National Neurscience Institute Singapore ini memprotes rencana peringatan besar-besaran kematian ayahnya yang dianggapnya sebagai langkah propaganda politik kakaknya.

Adapun konflik yang terjadi dengan Lee Hsien Yang dimulai ketika sang adik mengundurkan diri di tahun 2007 dari Singapore Telecom (SingTel) dan menolak seluruh tawaran untuk bekerja di perusahaan pemerintah, akibat dominasi iparnya (istri Lee Hsien Loong) melalui korporasi Temasek.

Lee Sheng Wu, putra dari Lee Hsien Yang, bahkan mengklaim telah meninggalkan Singapura lantaran takut akan represi pemerintah. Dikutip dari Financial Times, ia mengatakan; "Saya hanya ingin tidak masuk politik, saya percaya akan buruk dampaknya bagi Singapura jika ada generasi ketiga keluarga Lee yang terjun ke dunia politik. Mestinya negara ini lebih besar dari satu keluarga."

Hal yang berbeda terjadi pada keluarga Lee Hsien Loong. Selain diketahui bahwa istrinya sangat berperan pada holding company pemerintah, Temasek, putranya Lee Hong Yi juga mendapatkan perlakuan yang berbeda dari pemerintah.

Para pengamat di negeri Singa itu mengidentifikasi mulusnya karir sang putra mahkota yang saat sekarang sedang bertugas di kantor layanan publik yang berhubungan dengan pemanfaatan teknologi informasi.   

Sebelum kuliah di Masachussetts Institute Technology (MIT), Amerika Serikat, ia sempat menjalani wajib militer layaknya seluruh pemuda di Singapura.

Pada saat menjalankan tugas negara ini, Hong Yi pernah mengirim email kepada perwira tinggi memrotes koleganya yang absen tanpa izin dari penugasan yang tidak diberikan sanksi.

Pubik Singapura menganggap tindakan ini sebagai sebuah tindakan arogan dan hak ekslusif dari seorang putra Perdana Menteri. Selain itu, banyak warga Singapura juga sering membandingkan Lee Hong Yi dan Lee Sheng Wu dalam bersikap.

Meskipun kantor Perdana Menteri menolak semua tuduhan dari para keluarga dan lawan politik, namun Michael Barr, seorang professor hubungan internasional dari Flinders University, Australia, menyatakan ada kesamaan mencolok di antara Lee Hong Yi dan ayahnya, Lee Hsien Loong.

"Semua aktivitas [Hongyi], termasuk kontroversi [email] ketika masih bertugas di militer, adalah strategi yang efektif untuk membangun rekam jejak." Ujarnya.

Menarik untuk melihat bagaimana politik dinasti sangat memberikan warna tersendiri bagi negara-negara di Asia, seperti keluarga Bhutto di Pakistan, keluarga Park di Korea Selatan, dan keluarga Aquino di Filipina.

Namun tentunya di antara seluruh dinasti politik di Asia, belum ada satu negara pun yang memiliki dominasi yang lebih besar dari pengaruh keluarga Lee di Singapura.

Kawan penulis dari Singapura sering berkata, jika politik di sana terasa sangat "membosankan". Oleh sebab itu, mereka lebih "tertarik" membicarakan perkembangan politik di Indonesia, yang diistilahkan sebagai "lebih dewasa."

Memang belum ada penyataan resmi dari kedua Lee, apakah mereka akan mencalonkan diri sebagai pemimpin tertinggi di negara tersebut, namun siapapun pemenangya, maka tetap lah keluarga Lee yang masih akan berada di puncak kekuasaan.

Hingga suatu hari nanti, jika Lee Hong Yi yang merupakan generasi ke-3 keluarga Lee kembali berkuasa, maka hanya Korea Utara saja yang dapat menyainginya. Semoga Lee Hong Yi tidak menjadikan Kim Jong-Un sebagai panutannya.

Referensi: 1 2 3

SalamAngka
Rudy Gunawan, B.A., CPS
Numerolog Pertama di Indonesia -- versi Rekor MURI

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun